Pages

Makna Kehidupan

0 komentar
 

Kesemuanya dharma (tindakan tepat), artha (keamanan sosial), kama (kenyamanan dasar) dan moksha atau kebebasan – lazimnya dianggap sebagai empat purushartha, empat pilar terpenting dari struktur kehidupan manusia.
Purusharta berasal dari bahasa Sansekerta, sebenarnya terdiri atas dua kata, purusha dan artha. Purusha biasanya diterjemahkan sebagai pria; tapi makna ini, dapat diperluas mencakup wanita juga. Jadi Purusha ialah keduanya, laki-laki dan perempuan – manusia.

Artha dapat berarti kekayaan, uang dan bahkan makna. Ini ialah sesuatu yang memberi arti bagi hidupmu.

Jadi keempat Purushartha semuanya memberi makna pada kehidupan. Sekarang, anda tak harus menjadi orang Bali untuk setuju bahwa mereka, sejatinya, merupakan empat hal terpenting dalam hidup ini.

Semuanya disebut pilar struktur kehidupan manusia.

Kita semua butuh untuk tahu apa yang tepat dan apa yang tidak tepat. Kita semua membutuhkan sesuatu seperti keamanan sosial, kenyamanan dan kebebasan. Itulah kebutuhan dasar dan lazim dari semua manusia.

Bagaimana kita memenuhi kebutuhan itu?
Bagaimana kita menggapainya?

Leluhur kita menasehati kita untuk memulainya dengan dharma. Seseorang harus tahu apa yang tepat, dan apa yang tidak tepat dilakukan. Dengan pemahaman semacam ini, seseorang harus memperoleh kemampuan yang dibutuhkan dan keahlian untuk menjalankan bidang tindakan yang dipilih.

“Dahulukan yang penting,” begitulah nasehat yang dipopulerkan Stephen Covey. Pertama, kita harus mendapatkan dharma. Tanpa kebijaksanaan untuk memilah apa yang tepat dan apa yang tak tepat, kita tak dapat berhasil dalam hidup. Dan untuk mengembangkan kebijaksananaan semacam itu, sangatlah penting bahwa kita memiliki sebuah pikiran yang tajam dan kemauan untuk belajar.

Kebijaksanaan ialah buah dari pembelajaran. Kita belajar dari buku. Kita juga belajar dari mengamati orang lain dan pengalaman hidup mereka. Yang terpenting, kita belajar dari pengalaman kita sendiri.

Dalam beberapa tahun pertama kehidupan kita, kita belajar ddengan mengamati orang lain. Itu yang kita lakukan saat kita masih anak-anak. Kita tak dapat membaca; kita tak bisa menulis; tapi kita bisa mengamati. Membaca dan menulis datang kemudian – yang pertama ialah observasi.

Anak-anak, yang kekurangan kemampuan pengamatan ini umumnya tak terlalu ingin tahu. Mereka tidak banyak bertanya. Kita mungkin menganggapnya sebagai anak yang bertipe pendiam. Kita mungkin merasa senang dengan hal tersebut, karena mereka tak menggangu kita seperti halnya tipe anak yang suka bertanya. Kendati demikian, hal ini tak bagus. Anak-anak yang kurang observasi tak hanya tumbuh secara kurang bijaksana, tapi juga kurang dinamis.

Inilah alasan kenapa kita mempunyai banyak motivator di hari-hari belakangan ini. Sebagian dari kita yang kurang mengobservasi saat masa kanan-kanak tak bisa melakukan apa-apa tanpa mereka. Kita pelu dimotivasi, dan didorong untuk mencapai tujuan kita dalam kehidupan, untuk memenuhi dan meraih segalanya.

Amati anak-anak anda dan periksa seberapa kerap ia melakukan observasi. Anak yang observan bukanlah anak yang nakal dan bandel, tapi ia yang selalu bertanya, “apa ini? apa itu?”. Ini ialah pikiran yang bertanya yang membantu anak mekar menjadi manusia yang utuh. Tanpa pikitan yang bertanya, kita tetaplah separuh manusia.

Pikiran yang kritis bertanya, kendati demikian, tak dapat diperbudak. Memang ada komunitas, masyarakat dan sistem sosial yang tak suka dengan pikiran yang kritis. Mereka melecehkan intelegensia. Mereka mengharapkan pikiran yang tumpul yang dapat diarahkan da dikuasai. Penguasa di manapun, dan di bidang apapun menentang orang cerdas, karena mereka tak bisa diperbudak.

Purushaartha, seperti yang diwariskan leluhur kita, ialah bukan untuk para budak. Selain perbudakan, mereka tak punya pilihan lain dalam hidup. Perbudakan ialah satu-satunya makna dalam hidup mereka. Mereka tak dapat meraih dharma, artha, kama dan moksa. Mereka tak bebas melakukan apapun. Mereka telah diperbudak begitu lama sehingga mereka tak lagi merasa berharga, atau bahkan memahami, arti kebebasan dan kemerdekaan itu sendiri.

Sayangnya, perbudakan bukan tradisi yang usang dan mati. Pada zaman Musa perbudakan begitu kasat mata dan dan tumbuh subur seperti pada. Sekarang kita mempunyai penguasa genre baru. Di mana pemerintah tak lagi kejam, ekonomi, sosial, religius dan institusi yang sejenis lainnya menjadi para penguasa baru. Mereka dapat mengontrol pemerintah dari balik layar sehingga tetap terlihat

Untuk menggapai keempat purushaartha ialah untuk mematahkan rantai perbudakan, dan membebaskan pikiran kita. Tapi seperti yang telah saya katakan, jika kita terlalu lama dipebudak, kita bahkan bisa jadi tak memahami arti kebebasan. Kita mungkin malah menikmati perbudakan, dan merasa nyaman. Oleh sebab itu, dari waktu ke waktu, kita membutuhkan seorang Musa atau seorang Muhammad, seorang Buddha atau seorang Krishna, seorang Washington atau seorang Gandhi untuk menunjukan pada kita jalan keluar dari pebudakan.

Para mesias, nabi, manusia tuhan, avatar atau apapun sebutan anda bagi mereka sebenarnya “orang bebas.” Mereka mengetahui arti kebebasan. Mereka ialah manusia dengan pikiran yang tajam dan intelegensia super. Mereka bisa merangkul keempat Purushartha dan menghayati kehidupan dengan gayanya sendiri. Dan mereka hendak berbagi dengan kita jenis kebebasan yang mereka nikmati. Mereka menghampiri kita untuk menunjukkan pada kita jalan keluar dari perbudakan.

Ya, itu ialah apa yang mereka tepatnya lakukan. Mereka “menunjukkan” pada kita jalan menuju kebebasan, kemandirian, kemerdekaan dan keadilan untuk semua. Kita masih harus menapaki jalan itu. Mereka tak bisa berjalan untuk kita.

Penulis: Anand Krishna
Readmore...

Siwa Siddhanta

9 komentar
 
         
           Ajaran Siwa yang berkembang dibali adalah Siwa Siddhanta. Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya adalah sebuah kesimpulan dari ajaran yang sudah mapan. Ajaran ini merupakan hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu. Didalamnya kita temukan ajaran Weda, Upanisad, Dharmasastra, Darsana (terutama Samkya Yoga), Purana dan Tantra. Ajaran dari sumber - sumber tersebut berpadu dalam ajaran Tattwa yang menjadi jiwa atau intisari Agama Hindu di Bali.

Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur - unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, Rerainan (hari raya) dan Upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian, Agama Hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.

Sejarah

Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.

Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas.

Diibaratkan seperti mengenalkan binatang gajah kepada orang buta; jika yang diraba kakinya, maka orang buta mengatakan gajah itu bentuknya seperti pohon kelapa; bila yang diraba belalainya mereka mengatakan gajah itu seperti ular besar. Metode pengenalan yang tepat adalah membuat patung gajah kecil yang bisa diraba agar si buta dapat memahami anatomi gajah keseluruhan.

Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok / intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok). Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain Wrhaspati Tattwa. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.

Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda. Pengawi dan ahli Weda I Gusti Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu :

1. DANGHYANG MARKANDEYA

Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah.

Setelah menetap di Taro, Tegal lalang – Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.

Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.

Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu: Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.

Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll.

Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.

2. MPU SANGKULPUTIH

Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.

Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.

Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan.

Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.

Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll.

Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

3. MPU KUTURAN

Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali.

Pada saat itu beliau mampu menyatukan berbagaimacam aliran atau sekte yang berkembang dibali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.

Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

4. MPU MANIK ANGKERAN

Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra.

Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.

5. MPU JIWAYA

Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9).

Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.

6. DANGHYANG DWIJENDRA

Datang di Bali pada abad ke-14 dari desa keling dijawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetapi beralih menjadi Brahmana Siwa, ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.

Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal.

Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain : Mpu / Danghyang Nirarta, dan dijuluki : Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan).

Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.

Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll.

Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.

Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll.

Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali, karena dibali sesungguh Siwa Sidhanta dan Buddha kasogatan menjadi satu dalam keseharian hidup dan ritual orang bali.

Sumber - Sumber Ajaran

Walaupun sumber - sumber ajaran Agama Hindu di Bali berasal dari kitab - kitab berbahasa Sansekerta, namun sumber - sumber tua yang kita warisi kebanyakan ditulis dalam dua bahasa yaitu Bahasa sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno. Kitab yang di tulis dalam bahasa Sansekerta umumnya adalah kitab Puja, namun bahasa Sansekerta yang digunakan adalah bahasa Sansekerta kepulauan khas Indonesia yang sedikit berbeda denga bahasa Sansekerta versi India. Sedangkan kitab - kitab yang ditulis dalam bahsa jawa kuno antara lain Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana, Wrhaspati tatwa dan Sarasamuscaya. Kitab Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana dan Wrhaspati Tattwa adalah kitab - kitab yang Tattwa yang mengajarkan Siwa Tattwa yang mana juga kitab - kitab ini menjadi unsur dari isi Puja. Sedangkan Sarasamuscaya adalah kitab yang mengajarkan susila, etika dan tingkah laku.

Disamping itu juga terdapat banyak lontar - lontar indik yang menjadi rujukan pelaksanaan kehidupan umat beragama dan bermasyarakat di Bali seperti lontar Wariga, lontar tentang pertanian, pertukangan, organisasi sosial dan yang lainnya. Disamping itu juga terdapat kitab - kitab Itihasa dan gubahan - gubahan yang berasal dari purana, seperti Parwa ( kisah Maha Bharata), Kanda (Ramayana) dan juga kekawin - kekawin yang menjadi alat pendidikan dan pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat. Itihasa dan juga purana juga menjadi sumber dalam kehidupan berkesenian di Bali terutama kesenian yang masuk kategori Wali atau sakral, seperti wayang, topeng, calonarang dan yang lainnya, yang mana pementasan kesenian tersebut umumnya mengangakat tema cerita yang berasala dari Itihasa, purana atau kekawin. Tidak semua pelaksanaan kehidupan beragama di Bali yang dapat dirujuk kedalam sumber - sumber ajaran sastra agama, yang dikarenakan Agama Hindu di Bali begitu menyatu dengan Budaya, adat, seni dan segala aspek kehidupan orang Bali, sehingga banyak warisan budaya para leluhur orang Bali yang tetap diwariskan turun - temurun dan menjadi satu keatuan denga Agama Hindu di Bali.

Pokok - Pokok Ajaran

Ajaran Siwa Siddhanta di Bali terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila dan Upacara keagamaan. Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di dalan Siwa Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka menjadi Bhatara - Bhatari.
Sa eko bhagavan sarvah
Siwa karana karanam
Aneko viditah sarwah
Catur vidhasya karanam

Ekatwanekatwa swalaksana bhatara ekatwa ngaranya
Kahidup makalaksana siwatattwa
Tunggal tan rwatiga kahidep nira
Mangekalaksana siwa karana juga tan paphrabeda
Aneka ngaranya kahidup Bhataramakalaksana caturdha.
Caturdha ngaranya laksananiram stuhla suksma sunya.
Artinya :
Sifat Bhatara eka dan aneka. Eka artinya ia dibayangkan bersifat Siwa Tattwa, ia hanya esa tidak dibayangkan dua atau tiga. ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhatara bersifat Caturdha. Caturdha adalah sifatnya, sthula, suksma dan sunia.

Sumber - sumber lain yang menyatakan Dia yang Eka dalam Beraneka juga kita temukan dalam banyak mantra - mantra, diantaranya adalah :
Om namah Sivaya sarvaya
Dewa-devaya vai namah
Rudraya Bhuvanesaya
Siwa rupaya vai namah
Artinya :
Sembah bhakti dan hormat kepada Siwa, kepada Sarwa
Sembah bhakti dan hormat kepada dewa dewanya
Kepada Rudra raja alam semesta
Sembah hormat kepada dia yang rupanya manis

Twam Sivas twam Mahadewa
Isvara Paramesvara
Brahma Visnuca Rudrasca
Purusah Prakhrtis tatha
Artinya :
Engkau adalah Siwa Mahadewa
Iswara, Parameswara
Brahma, Wisnu dan Rudra
Dan juga sebagai Purusa dan Prakerti

Tvam kalas tvam yamomrtyur
varunas tvam kverakah
Indrah Suryah Sasangkasca
Graha naksatra tarakah
Artinya :
Engkau adalah Kala, Yama dan Mrtyu
Engkau adalah Varuna, Kubera
Indra, Surya dan Bulan
Planet, naksatra dan bintang - bintang

Prthivi salilam tvam hi
Tvam Agnir vayur eva ca
Akasam tvam palam sunyam
Sakhalam niskalam tatha
Artinya :
Engkau adalah Bumu, Air
dan juga Api
Angkasa dan alam sunia tertinggi
Juga yang berwujud dan tak berwujud


Dengan contoh - contoh ini menunjukkan bahwa semua Bhatara - Bhatari itu adalah Bhatara Siwa sendiri. Bhatara - Bhatari itulah yang dipuja sebagai Ista Dewata. Banyaknya Ista Dewata yang dipuja akan berkaitan dengan banyaknya Pura dan Pelinggih, Pengastawa, Rerainan dan Banten. Ista Dewata adalah Bhatara Siwa yang aktif sebagai Sada Siwa, sedangkan Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa bersifat tidak aktif atau sering disebut Sunia.

Dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara yang paling mendominasi pemujaan yang ada di Bali. Konsep penciptaan, pemeliharaan dan pemrelina menunjukkan Bhatara Siwa sebagai apa yang sering disebut Sang Hyang Sangkan paraning Numadi, yaitu asal dan kembalinya semua yang ada dan tidak ada di jagat raya ini.

salah satu yang menarik dari keberadaan Bhatara Siwa, ialah Beliau berada dimana - mana, di seluruh penjuru mata angin dan di pengider - ider. Di timur Ia adalah Iswara, di tenggara Ia adalah Mahesora, di selatan Ia adalah Brahma, di barat daya Ia adalah Rudra, di barat Ia adalah Mahadewa, di barat laut Ia adalah Sangkara, di utara Ia adalah Wisnu, di timur laut Ia adalah Sambhu dan ditengah Ia adalah Siwa. Sebagai Sang Hyang kala, di timur Ia adalah kala Petak (putih), di selatan Ia adalah Kala Bang (merah), di barat ia adalah Kala Gading (Kuning), di utara Ia adalah Kala Ireng (hitam) dan ditengah Ia adalah kala mancawarna.

Selain ajaran ke-Tuhanan, ajaran Siwa Siddhanta juga memuat beberapa ajaran diantaranya ajaran tentang Atma yang sesungguhnya berasal dari Bhatara Siwa dan akan kembali kepada-Nya juga, ajaran Karma Phala yang berkaitan dengan Punarbawa atau siklus reinkarnasi, ajaran pelepasan yang berkaitan tentang Yoda dan Samadhi. Terdapat pula ajaran tata susila yang erat hubungannya dengan ajaran Karma Phala. Tumpuan dari ajaran tata susila itu adalah Tria Kaya Parisuddha yaitu Kayika Parisuddha (berbuat yang benar), Wacika Parisuddha (berbicara yang benar) dan Manacika Parisuddha (berfikir yang benar).

Siwa Siddhanta Dalam Pelaksanaan Kehidupan Beragama di Bali

Ada relasi antara manusia dengan Tuhan. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk bakti sebagai wujud Prawrtti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua perbuatan manusia di dunia. Tuhan yang memberikan berkah dan hukuman kepada semua mahluk. Di Bali, bhakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai bentuk. Untuk orang kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembahyang yang diiringi dengan upakara. Upakara artinya pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan banten. Upakara termasuk Yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang maupun persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng dan Sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan saa, mantra dan puja. Padewasan dan rerainan memengang peranan penting, yang mana pada semua ini ajaran sradha kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud.

Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagai Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam banten caru, belia disimbulkan pada banten Bagia Pula Kerti, beliau dipuja pada puja Asta Mahabhaya, Nawa Ratna dan pada kidung belia dipuja pada kidung Aji Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai Puja, Mantra dan saa, ditulis dalam aksara pada rerajahan dan juga disimbulkan pada alat upacara serta aspek kehidupan beragama lainnya.

Tempat - tempat pemujaan menunjukkan tempat memuja Bhatara Siwa dalam manifestasi beliau. Belia dipuja sebagai Siwa Raditya di Padmasana, dipuja sebagai Tri Murti di sanggah, paibon, Kahyanga Desa dan kahyangan jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai Ista Dewata sesuai dengan ajaran Tuhan berada dimana - mana. Demikinalah orang Bali menyembah Tuhan disemua tempat, di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Bale Agung, Pempatan Agung, Peteula, Setra, Segara, Gunung, Sawah, Dapur dan sebagainya. Disamping itu diberbagai tempat Tuhan dipuja sebagai Dewa yang "Ngiyangin" atau yang memberkati daerah pada berbagai aspek kehidupan, seperti Dewa Pasar, Peternakan, Kekayaan, Kesehatan, Kesenian, Ilmu Pengetahuan dan sebagainya.

Dengan demikian hampir tidak ada aspek kehidupan orang Bali yang lepas dari Agama Hindu. Dalam pemujaan ini Tuhan dipuja sebagai Ista Dewata, Dewa yang dimohon kehadirannya pada pemujaannya, sehingga yang dipuja bukanlah Tuhan yang absolut sebagai Brahman dalam Upanisad atau Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa, namun Tuhan yang bersifat pribadi yang menjadi junjungan yang disembah oleh penyembahnya. Ista Dewata ini dipandang sebagai tamu yang dimohon kehadirannya oleh hambanya pada waktu dipuja untuk menyaksikan sembah bakti umatnya. Oleh karena itu Tuhan dipuja sebagai "Hyang" dari aspek - aspek kehidupan yang rasa kehadiran-Nya sangat dihayati oleh hambanya sama seperti penghayatan umat terhadapa aspek kehidupan tersebut. Pemujaan dilakuakn dalam suasana, tempat cara dan bahan yang paling tepat dan paling dihayati oleh para pemuja-Nya. Terdapat persembahan Banten, pakaian, hiasan yang semuanya dipersembahkan dengan begitu serasi dengan penghayatan, perasaan dan cita rasa dari penyembah-Nya sehingga penghayatan menyusup kedalam lubuk hati yang terdalam. Apapun yang dipersembahkan, maka itu adalah sesuatu yang terbaik menurut para penyembah-Nya. Akibat dari semua itu adalah adanya variasai dan pelaksanaan hidup beragama di Bali.

Namun inti dari prinsip ajaran agama Hindu adalah sama, yaitu Tuhan yang ada dimana - mana sama dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menampakkan diri dalam berbagai wujud dan pandangan penyembah-Nya, yang abstrak dihayati melalui bentuk.

sumber : Kalender Pasraman Yogadhiparamaguhya 2009, susunan IBG Budayoga, S Ag, Msi
Readmore...

BAGAIMANA MENCARI KEBENARAN

0 komentar
 
BAGAIMANA MENCARI KEBENARAN???


Sebuah rangkuman dari Kalama Sutta (Dasar Penyelidikan Bebas), sebuah panduan untuk mencari Kebenaran secara bijaksana, sebagaimana diajarkan oleh Buddha:

Semasa hidup-Nya, Buddha pernah datang ke desa yang dihuni oleh orang-orang Kalama. Suku Kalama termasuk kelompok orang yang paling cerdas dan cendekiawan di India. Mereka pergi untuk bertanya kepada Buddha, “Bagaimana kami tahu bahwa apa yang Anda ajarkan itu benar? Semua guru spiritual lain (ada lebih dari 60 kepercayaan agama pada masa itu) datang menyatakan bahwa hanya apa yang mereka ajarkan sajalah yang benar, bahwa semua ajaran lain tidaklah benar.”

Menanggapi hal tersebut, Buddha tersenyum lembut dan menjawab:

1. Janganlah percaya begitu saja pada apa yang kalian dengar hanya karena kalian telah mendengar hal itu sejak lama.
2. Janganlah mengikuti tradisi secara membuta hanya karena hal itu telah dipraktikkan sedemikian secara turun-temurun.
3. Janganlah cepat terpancing desas-desus.
4. Janganlah meyakini segala sesuatu hanya karena hal itu sesuai dengan kitab suci kalian.
5. Janganlah membuat asumsi-asumsi secara bodoh.
6. Janganlah tergesa-gesa menarik kesimpulan berdasarkan apa yang kalian lihat dan dengar.
7. Janganlah terkecoh oleh penampakan-penampakan luar.
8. Janganlah berpegang kuat pada pandangan atau gagasan apa pun hanya karena kalian menyukainya.
9. Janganlah menerima segala sesuatu yang kalian pandang masuk akal sebagai fakta.
10. Janganlah meyakini segala sesuatu hanya karena rasa hormat dan segan kepada guru-guru spiritual kalian.


Seyogianya kalian bisa mengatasi pendapat dan kepercayaan. Kalian bisa menolak segala sesuatu yang mana jika diterima dan dijalankan menyebabkan meningkatnya kemarahan (kebencian), keserakahan (nafsu keinginan), dan kegelapan batin (pandangan salah). Pengetahuan bahwa kalian marah, serakah, atau gelap batin tidak bergantung pada kepercayaan atau pendapat. Ingatlah bahwa kemarahan, keserakahan, dan kegelapan batin merupakan hal-hal yang tercela di seluruh dunia. Mereka tidak bermanfaat dan semestinya dihindari.

Sebaliknya, kalian bisa menerima segala sesuatu yang mana jika diterima dan dijalankan membawa pada Cinta Kasih tanpa syarat, kebercukupan, dan Kebijaksanaan. Hal-hal ini memungkinkan kalian pada setiap waktu dan tempat untuk mengembangkan pikiran yang bahagia dan penuh damai. Oleh karena itu, mereka yang bijaksana menjunjung Cinta Kasih tanpa syarat, kebercukupan, dan Kebijaksanaan.

Hal ini seyogianya menjadi kriteria kalian mengenai apa yang merupakan Kebenaran dan apa yang bukan; mengenai apa yang merupakan praktik spiritual dan apa yang bukan.”

Mendengar itu, orang-orang Kalama terpuaskan dan dengan hati dan pikiran yang terbuka, menganut semangat penyelidikan bebas, mendengarkan, bertanya, dan menerima ajaran Buddha dengan sepenuh hati.

dikutip dari www.ehipassiko.net
Readmore...

Memberi dan Berbalas Budi

0 komentar
 
MEMBERI DAN MEMBALAS BUDHI

Om awignamastu nama siddham
Om Siwa Buddhaya
Om namo panca tathagata ya
Om Namo arya avalokitesvara mahasattva maha karunaya
Om Ang Gni jaya ca Ang Gni wijaya jagat ca Um Manik Jatis ca Sumerus ca Ghanas ca De Kuturan Bharadah Ya namo svaha.
Sembah hatur ingulun ri pada nira bathara Hyang lamakane natan kakening sosot upadrawa kuasan sira paduka bathara.

Puja dan hormat kami terhadap SiwaBuddha Tuhan kami, kelima Buddha penguasa dan kepada yang mulia maha avalokitesvara mahluk yang maha pengasih.
Sembah kami kepada guru kerohanian kami dari garis siwabuddha dharma, Yang Maha Suci Gni Jaya di lempuyang agung, Yang Mulia Sapta Rsi Gni wijaya di lempuyang madya, Yang Maha Suci semeru di gunung mahameru, Yang Maha Suci Ghana di gelgel, Yang Maha suci kuturan di silayukti dan Yang Mulia Maha Suci Bharadah dijawa.
Semoga tidak terkena hukuman leluhur dan kutukan atas ijin dari Yang Maha Suci Guru kerohanian hamba.

Didalam keseharian terkadang kita selalu berharap untuk mendapatkan sesuatu, rejeki keberuntungan atau bonus dari pekerjaan kita. tapi pernahkah kita berpikir untuk memberi bahkan lebih dari hal yang kita miliki? keterikatan manusia akan materiil dijaman materialisme ini akan sangat sulit mencari lingkungan saling memberi atau berbalas memberi.

Dalam masyarakat SiwaBuddha di bali tradisi ngejot atau mengirim makanan ketika ada upacara merupakan kebiasaan, dan hal ini ada jauh sebelum hindu buddha masuk. hal ini masih kita jumpai dibeberapa tradisi suku lain diindonesia. tetapi hal itu sekarang mulai tergerus karena jaman yang mulai modern bahkan di bali sekalipun.

Dahulu ketika kita akan mempunyai acara atau hajatan semua dilakukan dengan gotong royong tanpa pamrih, hal ini masih berlaku dalam masyarakat bali. walaupun terkadang dituduh tidak efektif bagi kaum modern kebarat-baratan. budaya adat gotong royong dan ngayah dianggap memberatkan dengan tradisi kapitalis dimana waktu adalah uang. semua ayahan bisa ditukar dengan uang, kebersamaan mulai ditinggalkan seakan materiil diatas segalanya.


Berterima kasih karena berhutang


Seorang Buddha berterima kasih kepada pohon Bodhi yang telah melindunginya saat beliau bermeditasi mencapai Penerangan Sempurna. Kehidupan di dunia ini pada hakikatnya mempunyai ketergantungan dengan yang lain. Itulah sebabnya dari dulu para leluhur melakukan persembahan, melakukan yadnya dan saling menolong satu sama lain tanpa pamrih atau pengharapan balas jasa. Mereka selalu mengingat hutang mereka dan berusaha untuk selalu membalas budhi bukan sebaliknya mereka tidak pernah mengingat pemberian dan persembahan yang telah mereka lakukan.

Dalam tradisi Siwabuddha, manusia meyakini memiliki Tiga macam hutang atau Tri Rna:

1. Deva Rna, hutang terhadap Dewa. Yang dimaksud adalah hutang terhadap kemuliaan, kesadaran, pencerahan karena kata dewa berasal dari Divya, yang berarti yang mulia, yang terang, yang berasal dari cahaya.
2. Pitra Rna, hutang terhadap leluhur, atau barangkali lebih tepat hutang terhadap keluarga. Karena keluarga adalah kontinuitas dari leluhur dan leluhur adalah keluarga.
3. Rshi Rna, hutang terhadap para bijak, atau terhadap kebijaksanaan itu sendiri.

Dan ketiga hutang ini mereka berbalas dengan melakukan Yadnya yang disebut sebagai Panca Yadnya:
1. Dewa Yadnya, melaksanakan persembahan kepada Tuhan ( Sang Hyang Tunggal), para Dewa dan mahluk suci.
2. Pitra Yadnya, melakukan penghormatan pada leluhur dan menjaga nama baik keluarga, melakukan upacara pada leluhur dan menghormati orang tua.
3. Rsi Yadnya, memberikan penghidupan pada orang suci dan menghormati para Guru dharman dan dharma itu sendiri.
4. Manusia Yadnya, membantu sesama manusia, saling mengasihi dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
5. Bhuta Yadnya, menjaga keharmonisan lingkungan. Jauh sebelum ilmuwan modern mulai memperhatikan lingkungan, flora dan fauna, jauh sebelum mereka mencetak istilah baru eco system, para bijak sudah memaparkan, menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungannya.


Membalas pemberian dengan apa yang dipunyai

Aththar an Nisaburi, salah seorang sufi bercerita sebagai berikut. Ketika Gusti Yesus pada suatu hari berjalan melintasi kota, beberapa orang Israel mencaci-makiNya. Merespon hal tersebut, Gusti Yesus menjawab dengan mengulang doa atas nama mereka. Seseorang berkomentar : ”Engkau berdoa untuk orang-orang ini, tidakkah Engkau merasa marah kepada mereka?” Gusti Yesus menanggapi : “Aku hanya dapat membelanjakan apa yang ada dalam dompetku.” Seseorang yang hatinya penuh kasih, yang diungkapkan pun hanya kasih, karena di dalam dirinya yang ada hanya kasih.

Apapun yang diterima diri manusia, baik makanan, maupun semua kejadian, alangkah baiknya kalau didaur-ulang dengan kasih. Apapun yang dipikirkan, diucapkan dan diperbuatnya, alangkah mulianya bila dijiwai oleh kasih. Semua ingatan perlu didaur ulang, sehingga yang tertinggal dalam ingatan hanyalah tentang kasih. Kasih yang tulus tanpa pamrih, terlepas dari penilaian baik dan buruk, dari dualitas. Apa pun yang diterima dibalas dengan kasih. Ungkapan terima kasih para leluhur kita mempunyai kesamaan dengan peristiwa di atas.



Guru Atisha berguru kepada Guru Dharmakirti Svarnadvipi


Ungkapan Terima Kasih produk asli Nusantara

Lebih dari 800 tahun telah berlalu ketika Guru Atisha bepergian ke Sumatra yang pada waktu itu dikenal dengan nama Svarna Dvipa, belajar kepada Guru Dharmakirti Svarnadvipi. Guru Atisha menghabiskan waktu lebih dari 10 tahun untuk belajar dan mendokumentasikan tiap kata yang didengar dan tiap ilmu yang diajarkan oleh Guru Dharmakirti Svarnadvipi.

Salah satu ilmu yang dipelajari dari Nusantara dan disebarkan di India dan Tibet oleh Guru Atisha adalah Meditasi Tong-Len, Menerima dan Memberi, Terima Kasih. Guru Atisha membicarakan prinsip give and take. Hanya saja give and take Guru Atisha berbeda dengan kebanyakan orang. Seseorang pada umumnya selalu ingin menerima yang terbaik, dan memberi yang kurang baik. Guru Atisha kebalikannya, memberikan yang terbaik, menerima yang terjelek. Yang terjelek pun harus di olah, di daur-ulang dan dijadikan baik kembali. Ilmu yang telah lama dilupakan di Nusantara, karena warga Nusantara akhir-akhir ini hanya mempunyai “short memory”, amnesia.

Teknik ini sekarang digunakan para neurologist Barat sebagai bagian dari Transcranial Magnetic Stimulation Therapy, untuk menyembuhkan beberapa penderita stroke.(anand krishna)

Beberapa butir Ajaran Guru Atisha

Beberapa butir ajaran Guru Atisha dari buku Seni Memberdaya Diri 3 Atisha karya Bapak Anand Krishna yang berhubungan dengan terima kasih:

Jangan mulai dari orang lain. Mulailah dari diri sendiri dulu. Sadarilah akan kekotoran diri. Terlebih dahulu, urusi diri dahulu. Tong berarti memberi. Berikan kasih, sebarkan kasih. Len berarti menerima. Terimalah kebencian, ambillah kebencian

Guru Atisha tidak menyangkal adanya kejahatan. Guru Atisha juga tidak mengatakan bahwa kejahatan dapat dihindari. Guru Atisha seorang ahli kimia rohani. Berikan kebencian, dan akan diolahnya menjadi kasih. Berikan kemunafikan dan ia akan mengolahnya menjadi kejujuran, ketulusan. Apabila kejahatan menimpa dunia ini, manusia perlu mengubah keadaan yang tidak menguntungkan menjadi sarana demi terjadinya peningkatan kesadaran.

Kembangkan rasa syukur. Ada yang menghujat, yang mencaci maki – balas dengan ucapan Terima Kasih. Selesai sudah masalahnya. Lagi pula, setiap kali mengucapkan terima kasih, sesungguhnya seseorang melepaskan mind-nya. Mind tidak pernah berterima kasih. Mind selalu melakukan perhitungan. Mind selalu menghitung laba rugi. Bersyukur adalah rasa bukan mind.

Apabila masih menghitung laba-rugi, apabila masih mempertanyakan tujuan, sesungguhnya seseorang belum ingin mempertahankan Kasunyatan. Burung-burung berkicau tanpa tujuan. Kembang-kembang mekar tanpa tujuan. Sungai-sungai yang mengalirpun tidak bertujuan. Mind-lah yang selalu mengejar tujuan.



Pertemuan dengan Guru Dharmakirti dalam diri



Berikut ini cuplikan dari Buku Seni Memberdaya Diri 3 Atisha, karya Bapak Anand Krishna……

Guru Dharmakirti dalam diri manusia Indonesia sudah tidak tahan menyaksikan ketidakwarasan kita. Ia sudah muncul kembali, Ia tidak akan kemana-mana lagi. He has come to stay. Ajarannya tentang Kesadaran Murni akan melanda Persada Nusantara.

Apa pun agama yang dianut, perlu diwarnai keyakinan, kepercayaan dengan penuh kesadaran. Guru Dharmakirti tidak mewakili salah satu agama. Ia mewakili kemanusiaan. Ia mewakili keberadaan. Ia mewakili keindahan. Jika seseorang masih tetap alergi terhadap dia, apa boleh buat? Boleh-boleh saja seseorang menolak dia, sebagaimana seorang buta menolak keberadaan matahari. Penolakan tersebut sangat tidak berarti. Cahaya matahari Guru Dharmakirti sudah mulai menerangi sebagian bangsa kita. Dan ia akan melanjutkan tugasnya – tugas menerangi bangsa ini secara keseluruhan.

Pertemuan dengan seorang Guru Atisha, dengan seorang Guru Dharmakirti, bukanlah suatu kebetulan. Mereka tidak bisa ditemui secara kebetulan. Karma seseorang mempertemukan dengan mereka. Perbuatan dan tindakan seseorang selama sekian banyak masa kehidupan berbuah dan menghadirkan seorang Guru Atisha, seorang Guru Dharmakirti dalam hidup seseorang.

Lalu apa yang harus dilakukan? Menyia-nyiakan kesempatan itu, tidak sungguh-sungguh menerimanya, atau mengundangnya untuk bermukim di dalam jiwa? Yang telah dibuka bukanlah pintu hati, tetapi hanya jendela pikiran. Sebagaimana telah disia-siakan sebelum ini, masa kehidupan sebelum ini pun berlalu begitu saja, tanpa terjadinya peningkatan kesadaran sama sekali. Menerima Guru Dharmakirti, menerima Guru Atisha, berarti menerima kritik dan ujian, hujatan, cacian dan makian. Kalau belum bisa menerimanya, tunggu dulu! Seorang Guru Dharmakirti, seorang Guru Atisha akan mengeruhkan suasana sedemikian rupa, sehingga seseorang akan menerima semua itu.

itulah yang menjadi jawaban atas karakter orang bali penganut SiwaBuddha, ajaran Maha Guru Dharmakirti terealisasi dalam kehidupan keseharian orang bali. Bukan karena pengecut atau takut, dua kali bali di BOM dan dilukai hatinya tapi orang bali sedikin pun tidak terprovokasi ataupun terpancing untuk membalas atau menyalahkan salah satu agama ( dimana pelaku dengan tanpa bersalah mengaku menjalankan ajaran agamanya). seperti pepatah tetua mereka: "jika engkau dilempar dengan kotoran balaslah dengan bunga". Selalu balas segala sesuatu dengan kebajikan. karena setiap mereka keluar dari pura atau tempat suci kata Shantilah yang diucapkan tiga kali, sehingga dihati orang bali selalu tertanan kata shanti yang berarti damai. kedamian dihatilah inti dari bodhicitta.


Sarvam Sattvam Sukkham Bavanthu
Om Shanti Shanti Shanti Om
Readmore...
/*