Pages

Ilmu Kesejatian Pewayangan "Sastra Jendra"

0 komentar
 
Om Awignamastu Namasidham

“Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sastra rahasia yang sebelumnya hanya Bethara Guru yang tau yaitu Puncak Ilmu manunggalin Kesejatian. Dalam bahasa Jawa Kuno “Serat Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik, menetralisir kearah lebih baik. Diyu = raksasa atau lambang keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra Hayuningrat adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan sempurna.

Dalam Budaya Jawa Kuno yang dipengaruhi oleh Buddha Vajrayana ada sebuah konsep yang disebut dengan Boddhicitta terdiri dari dua kata Buddhi dan Citta
yang bermakna pikiran Buddha atau Pikiran yang tersadarkan. Ajaran ini diciptakan oleh Yang Mulia Bhiksu Dharmakirti seorang Mahawiku pada jaman kerajaan Sriwijaya. Ajaran ini dengan jelas berkembang di Tibet sampai saat ini dengan bentuk masih berupa ajaran Buddha Vajrayana saat ini dibawa oleh Y.M Athisa Dhipankara ke Tibet.


Jejak Boddhicitta di Nusantara berkembang dalam ajaran yang telah masuk dan berbias dalam Budayanya. Konsep Meruwat atau Nyomya di Bali adalah salah satu konsep dari ajaran ini, dalam Tantra unsur jahat bukanlah dilawan atau dimusuhi seperti ajaran lainnya. sifat Asura akan selalu ada, atau di Bali dikenal dengan istilah RwaBhineda atau Yinyang dalam masyarakat cina. Unsur gelap adalah ada untuk menunjukkan sisi terang, bukan musuh dari terang. Racun ada untuk menunjukkan obat itu berguna dan dibutuhkan,.

Meruwat didalam kebudayaan jawa adalah merubah sifat Jahat dan membuatnya menjadi baik, seperti dalam cerita Sudamala dimana Sahadewa meruwat Bethari Durga untuk kembali menjadi Uma, bukan membunuh atau memusuhi. Begitu juga di Bali dalam cerita Sapuleger bagaimana meruwat Bathara Kala dari Butha menjadi Bethara agar beliau tidak mengganggu dan memakan anak yang lahir pada wuku wayang dalam kalender jawa-bali. Begitu juga dengan cerita Sutasoma yang mampu menyadarkan para binatang dan Raksasa dengan Boddhicitta.

Dalam budaya masyarakat bali ada istilah Mulat sarira, yaitu mengolah diri agar mampu melepas sifat-sifat kita yang asura menjadi sifat dewa. dan segala upacara Butha Yadnya bertujuan untuk menyomya atau meruwat Butha dan menetralisir agar kembali kealam masing-masing sehingga alam kembali seimbang.

Asal-usul Sastra Jendra dan Filosofinya

Asal mula Sastra Jendra sampai saat ini masih rancu, ada yang mengatakan memang sudah terdapat dalam cerita pewayangan ataupun mengacu pada dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom:

"sasta jendra, sastra jendra yu Ninggrat pangruwating barang sakalir, ingkang kawrub tan wonten malib, wus kawengku sastradi, pungkas-pungkasaning kawrub, ditya diyu raksesa, myang sato siningwanadri, lamun werub artine sastra jendra" (Arjuna Wijaya, pupuh sinom, hal 26)

Ajaran “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” dalam cerita pewayangan mengambil akon cerita lahirnya Dasamuka atau Rahwana, yang kelak menjadi musuhnya Rama dalam wiracarita Ramayana. Didalam cerita Ramayana versi Jawa maupun Bali memiliki cerita yang sama tentang asal-usul Rahwana namun berbeda dengan Cerita Ramayana versi Walmiki india.

Adapun Alkisah Begawan Wisrawa mempunyai seorang anak bernama Prabu Danaraja, yang ingin mengawini seorang istri bernama Dewi Sukesi yang syaratnya sangat berat, yakni bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti dan bisa menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”.

Prabu Danaraja tidak dapat melaksanakan maka minta bantuan ayahandanya, Begawan Wisrawa yang ternyata dapat memenuhi dua syarat tersebut. Maka Dewi Sukesi dapat diboyong Begawan Wisrawa, untuk diserahkan kepada anaknya Prabu Danaraja.


Sementara itu di kahyangan Suralaya, Jonggring Salaka. Sanghyang Jagatnata (Batara Guru) sangat gelisah. Ia sangat merisaukan permintaan Dewi Sukesi yang ingin mengetahui serat ilmu Sastra Jendra. Dan yang lebih membuat hatinya risau bercampur marah adalah Begawan Wisrawa kini sedang mencoba menjabarkan ilmu tersebut. Jagatnata tidak ingin siapapun, mahluk apapun di jagat raya ini mengetahui risalah Sastra Jendrahayuningrat. Sebab, bila semua itu terjadi, apalagi manusia atau mahluk di jagat pramuditya ini menjalankan makna yang terkandung dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, maka tidak akan ada lagi bangsa manusia, jin dan raksasa yang memuja para dewa. Suralaya akan terguncang, hancur luluh. Untuk itu Sanghyang Jagatnata bermaksud ingin menggagalkan tujuan Begawan Wisrawa.

Bersama Dewi Uma, Sanghyang Jagatnata turun ke mayapada menuju Alengkadirja. Dalam pesanggrahan yang hanya diterangi oleh titik cahaya, dua insan berbeda jenis saling berhadapan. Begawan Wisrawa memulai wejangannya membuka risalah-risalah ilmu agung kepada Dewi Sukesi. Dilain pihak, tanpa diketahui oleh kedua insan ini, dua titik cahaya yang mempunyai maksud tersembunyi menyeruak masuk ke dalam pesanggrahan. Dua titik itu terus menerobos masuk dan meraga sukma ke dalam jasad Begawan Wisrawa dan Sukesi. Dua titik cahaya tadi tidak lain adalah Sanghyang Jagatnata yang merasuk ke dalam tubuh resi Wisrawa, dan titik satunya adalah Dewi Uma yang juga telah merasuk ke dalam jasad Dewi Sukesi.

Jauh di dalam jasad, di alam yang tidak terlihat oleh kasat mata. Dua mahluk berupaya merusak nafsu yang menjadi dasar kodrat kemanusiaan. Dewi Uma yang mempengaruhi nafsu-nafsu Dewi Sukesi, dan Sanghyang Jagatnata yang mempengaruhi nafsu-nafsu Begawan Wisrawa. Keduanya menggoda dengan sangat kuat. Godaan demi godaan kian membakar diantara kedua insan. Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi tidak lagi mampu menahan godaan. Tepat sebelum Wisrawa mampu menjabarkan keseluruhan serat Sastra Jendra, keduanya terjerumus dalam kubang kenistaan. Jebolah dinding pertahanan Wisrawa dan Sukesi hingga keduanya larut dalam cumbuan birahi yang membutakan mereka. Tidak ada lagi penyesalan diantara keduanya pada saat itu. Hubungan tersebut terjalin berlarut-larut hingga Dewi Sukesi membuahkan kandungan. Wisrawa lupa bahwa ia pada hakikatnya hanya berfungsi sebagai wakil anaknya untuk memenuhi syarat yang diinginkan Dewi Sukesi.

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu gagal diselesaikan. Akibat dari dosa-dosanya maka  mengandunglah Dewi Sukesi, mengetahui hal ini marahlah Prabu Danaraja yang mengetahui ayahnya telah berbuat melanggar sila sebagai seorang Begawan, maka terbunuhlah Begawan Wisrawa oleh Putranya sendiri dan Dewi Sukesi yang sedang mengandung lari kehutan menyelamatkan diri, ditengah hutan ini lahirlah bayi dalam kandungan dewi sukesi yaitu Rahwana (Raksasa merah yang berarti darah hutan), Kumbakarna (Raksasa Telinga lebar), Surpanaka (Raksasi perempuan) dan terakhir Gunawan Wibisana (manusia tampan).

Ilmu Sastra Jendra ini sangatlah rahasia karena akan mampu meruwat manusia, Butha dan mahluk lainnya menjadi dewa bahkan lebih tinggi sehingga para dewa pun tidak berkenan jika manusia sembarangan menjabarkan dan menurunkan ilmu ini. Dunia wayang merupakan bayangan dari dunia manusia sendiri dimana manusia adalah wayangnya dan dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.

Bila seseorang mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” berarti harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan haruslah dapat menguraikan tentang sejatining urip (kesempurnaan hidup), sejatining Panembah Bhakti yang sempurna, sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga ilmu untuk kembali ke sisi Tuhan YME. Menetralisir yang negatif agar kembali menjadi positif sampai akhirnya manunggal dengan tata cara hidup layak untuk mencapai budi suci.

Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah dalam cerita Sudamala Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan, dimana Betari Durga Kembali ke Khayangan menjadi Dewi Uma berkat diruwat oleh Sahadewa (pendawa paling bungsu).

Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur (Dewa ya manusia ya Butha ya). Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya kerohanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan.

Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Begawan Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu. Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan anugrah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu.Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.

Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Begawan Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua” Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.

Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.

“ Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”
Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.

Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.

Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut meandatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya. Namun semakin besar kekuatan yang diberikan ke kita semakin besar pula tanggung jawab kita, karena diakhir cerita Bagawan wisrawa melakukan kesalahan karena Ilmu tersebut tidaklah boleh sembarangan diberikan.
Readmore...

PURA BUKIT DHARMA DURGA KUTRI

3 komentar
 

1.1 Letak dan Lingkungan
Tukad Pakerisan dan Tukad Petanu adalah dua buah sungai yang mengalir di sebelah timur dan barat Desa Buruan, yang sejak dahulukala mendapatkan sumber air yang tidak ada hentinya dari kaki pegunungan Kintamani. Kedua sungai ini menjadi terkenal di kalangan para ahli arkeologi dan sejarah Bali Kuno, bahkan juga kalangan para ahli kebudayaan Bali, karena kawasan di antara kedua sungai ini yang membentang dari utara desa Tampaksiring hinga ke pantai selatan Gianyar, terbukti memiliki kandungan bukti-bukti kelahiran awal peradaban Bali yang sangat signifikan. Kawasan ini dapat juga disebut sebagai kawasan budaya, terutama kerena mempunyai populasi peninggalan arkeologi yang amat padat dan beragam, baik secara kunatitatif maupun kualitatif, antara lain tersebar di desa-desa Panempahan, Manukaya (Tampaksiring). Pejeng, Bedulu dan Kutri (Buruan), hingga desa-desa pesisir pantai selatan, seperti desa Lebih, Keramas, Saba, dan Tewel. Oleh karena itu, kedua sungai tersebut di atas seringkali disejajarkan dengan sungai Gangga dan Jamuna di India, karena terbukti merupakan pusat kebudayaan India kuno.
Pada umumnya hampir semua peninggalan arkelogi yang terdapat di kawasan tersebut di atas sampai sekarang masih berfungsi sakral (living sacred monuments) bagi masyarakat setempat. Sebagai contoh disebutkan, ialah Pura Pegulingan, Pura Tirtha Empul, Prasada Mangening, Candi Tebing Gunung Kawi (Tampaksiring), Pura Goa Gajah, Pura Penataran Sasih, Pura Pusering Jagat, Pura Kebo Edan (Pejeng), Pura Samuan Tiga (Bedulu), Pura Bukit Dharma Kutri dan lain-lainnya. Oleh karena itu, kawasan di antara Tukad Pakerisan dan Petanu seringkali disebut juga sebagai kawasan suci atau kawasan sakral (sacred topography) yang penting dalam kehidupan beragama masyarakat Bali sejak dahulukala hingga sekarang. Kenyataan semacam ini, telah ditunjukkan oleh para ahli arkeologi yang melakukan penelitian sejak permulaan abad 20 yang lalu. Berbagai ragam peninggalan arkeologi yang dapat disaksikan dewasa ini, adalah warisan budaya yang merupakan saksi sejarah masa lalu yang sebenarnya dapat menjadi penutur perkembangan dinamika dan kreativitas budaya nenek moyang yang berlangsung secara bertahap terutama seni kerajinan, seperti seni pahat dan lain-lainnya.
Pura Bukit Dharma terletak di Banjar (Dusun) Kutri, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Giahyar, Propinsi Bali. Atau situs ini terletak di antara koordinat 80 30’ Bujur Timur dan 80 30’-80 40’ Lintang Selatan dengan ketinggian 193 meter dari permukaan air laut. Banjar Kutri adalah salah satu banjar yang terletak di ujung utara desa Buruan. Sebenarna situs Pura Bukit Dharma Kutri terdiri atas empat buah pura, yaitu Pura Puséh, Pura Ulun Carik, Pura Bukit Dharma, dan Pura Kédarman. Pura Puseh Desa terletak pada halaman ke dua (jabe tengah), Pura Ulun Carik dan Pura Bukit Dharma pelatarannya lebih tinggi dari Pura Ulun Carik dan Pura Kedarman terletak pada pelataran yang paling tinggi, karena terletak di atas bukit. Pura Kédarman dapat dicapai setelah melalui anak tangga sebanyak 102 buah dan tanjakannya cukup tajam. Pura Kedarman terletak pada ketinggian 193 mater di atas permukaan laut.
Komplek Pura Bukit Dharma mudah dicapai karena terletak di pinggir jalan raya Gianyar Denpasar atau 4 kilometer di sebelah barat Kota Gianyar dan 24 kilometer dari Denpasar. Di depan pura terpancang sebuah papan nama yang berbunyi Kahyangan Jagat ”Pura Durga Kutri”. Sebenarnya yang dimaksud dengan nama itu adalah untuk menunjukkan kompleks Pura Bukit Dharma Kutri. Hal itu dapat dimaklumi karena pada salah satu pura itu (Pura Kédarman) menyimpan sebuah arca Durga Mahisāsuramardhini.
Bukit tempat didirikan komplek Pura Bukit Dharma ditumbuhi beberapa jenis pohon kayu berdaun rimbun seperti pohon beringin, kepih, dan lain-lainnya, sehingga bukit itu terhindari dari erosi.
Kompleks Pura Bukit Dharma menyimpan peninggalan arca-arca antara lain Durga Mahisāsuramardini, Amoghapaśa, Ganesa, arca Bhatara, dan arca Buddha. Menurut Stutterheim arca-arca yang tersimpan di kompleks Pura Bukit Dharma dimasukkan dalam arca-arca kelompok Kutri yang diperkirakan berasal dari abad X-XIII M. (Stutterheim, 1929 : 116-117). Bangunan yang tergolong kuna di komplek Pura Bukit Dharma tidak ada lagi berdiri karena bangunan yang ada sekarang semuanya tergolong baru. Tetapi terdapat petunjuk rupa-rupanya pada jaman yang lampau di tempat itu pernah berdiri bangunan candi, karena dalam Prasasti Peguyangan terdapat keterangan yang menyebutkan sanghyang candi i burwan (Callenfels, 1926 : 19).
Selain prasasti Peguyangan masih terdapat prasasti lainnya untuk mengungkap situs Kutri (Buruan), yaitu prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Anak Wngsu yang memerintah di Bali tahun Saka 971-999, prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus yang pernah memerintah di Bali tahun Saka 1099-1103 dan prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Patih kbo Parud yang pernah memerintah di Bali tahun Saka 1218-1222 (Goris, 1948 : 9-14).
Prasasti lain yang ada hubungannya dengan raja suami istri Gunapriya Dharmapatni dan Udayana (ayah-bunda Marakata dan Anak Wungsu), yaitu Prasasti Tengkulak A. Prasasti itu menyebutkan pada mulanya raja suami istri dicandikan bersama-sama di Bańu Wka (Ginarsa 1961 : 3-17).
Prasasti dapat memberikan data kesejarahan dan mengidentifikasikan seni arca. Demikianlah halnya dengan ungkapan bhatari lumah i burwan dipergunakan untuk mengidentifikasikan arca Durga Mahisasuramardhini yang di simpan di Pura Bukit Dharma. Dari prasasti dapat pula diketahui bahwa di Pura Bukit Dharma Kutri (Burwan) pernah sebagai tempat kediaman pendeta agama Buddha.
Kata Darma (dharma bahasa Sansekerta) yang terkandung pada nama Pura (Bukit Darma dan Kédarman) memberikan petunjuk, bahwa Pura Bukit Dharma sebagai tempat pemujaan arwah (roh) seorang tokoh penting pada jamannya. Selain arca itu di sekitar Pura Kédarman ditemukan batu-batu candi yang salah satu di antaranya berbentuk ambang pintu. Di Pura Kédarman yang terletak di puncak bukit itu mungkin dahulu didirikan sebuah candi yang dalam prasasti Peguyangan disebut sanghyang candi i burwan (Soekmono, 1974 : 225; Callenfels, 1926 : 19).
1.2 Struktur Pura
Pura adalah sebuah tempat suci, sehingga bentuk dan strukturnya didasarkan atas konsep filosofis sebagai landasannya. Pada intinya, landasan filosofisnya berdasarkan kosmologis Hindu yang memandang, bahwa dunia ini terdiri atas susunan yang berlapis-lapis disebut loka dan tala, sebagai replika dari makro-kosmos atau dunia. Pura di bagi menjadi beberapa halaman (mandala) sebagai simbol loka dan tal. Seperti pura dengan dua halaman (mandala), yaitu jaroan (hulu), dan jaba (hilir) sebagai simbol dari alam atas (swah), dan alam bawah (bhur). Pura dengan tiga halaman (mandala) adalah simbol tri loka, yaitu bhur loka, bwah loka dan swah loka. Di samping itu, halaman (mandala) dilengkapi dengan bangunan, pelinggih, bangunan pelengkap, dan bangunan penunjang. Pemisahan masing-masing halaman (mandala) ditandai dengan tembok penyengker, candi bentar, dan kori agung sebagai penghubungnya.
Demikian halnya dengan Pura Bukit Darma, tidak secara tegas menunjukkan konsep tri loka, tetapi merupakan kompleks pura dengan halaman-halaman (mandala) sebagai berikut.
1. Mandala Jaba
Mandala ini adalah sisi terluar, dan di mandala terdapat beberapa pelinggih dan bangunan pelengkap sebagai berikut :
· Manik Tirtha, yaitu merupakan pelinggih yang terbuat dari bambu dan terdapat beberapa arca yang ditempatkan di bawah pohon beringin. Pelinggih ini merupakan tempat meletakkan sesajen pada saat piodalan dan hari–hari seperti purnama, tilem dan lain-lain.
· Beji, di tempat ini terdapat pancuran dan airnya ditampung seperti kolam yang berada di seb timur pohon beringin. Air pancuran di Beji ini diperguna-kan untuk kepentingan upacara, seperti melasti, ngingsah beras, nunas toya ning, dan lain-lain untuk masyarakat Blahbatuh dan sekitarnya.
· Bale Gong, adalah untuk melakukan kegiatan terutama bagi sekhe gong dalam kaitannya den upacara di Pura Bukit Darma.
· Bale Banjar, bale ini adalah tempat untuk melakukan aktifitas seperti pertemuan (sangkep) oleh Krama Banjar Kutri.
Di sebelah barat mandala jaba (halaman luar) terdapat jalan raya dari kota Gianyar ke Blahbatuh, dan di sebelah barat jalan raya ini terdapat perumahan penduduk dari utara (Semabaung) sampai Desa Burwan dan seterusnya. Di belakang rumah-rumah sebelah barat jalan raya ditemukan susunan batu kali mengarah utara–selatan, yang ke arah utara sampai di Pura Jeron Dewa sedangkan yang ke selatan sampai batas Banjar Kutri dengan Desa Buruan. Kemungkinan pada masa lalu jalan yang terbuat dari batu itu ada kaitanny dengan Pura Bukit Darma, selain itu terdapat juga sumber mata air yang dialirkan ke sebelah utara halaman luar (pohon beringin) dan ke Puri Blahbatuh dengan menggunakan pipa untuk kebutuhan air sehari-hari.
2. Mandala Jaba Tengah
Untuk mencapai mandala ini, dengan melewati candi bentar melalui beberapa anak tangga dan sampailah di mandala jaba tengah. Di mandala ini terdapat bale kulkul yang terletak di ujung utara tembok, dan setelah melewati candi bentar yang menghadap ke arah selatan terdapat Pura Puseh dan Pura Desa (Bale Agung) Di halaman pura ini terdapat pelinggih dan bangunan lainnya sebagai berikut :
1. Penetegan
2. Piyasan
3. Bale Agung
4. Taksu
5. Pelinggih Naga Basuki
6. Pengaruman
7. Gedong Sinapa
8. Gedong Gunung Lebah
9. Padmasana
10. Gedong Siwa
11. Pelinggih Gunung Agung
12. Pelinggih Arca
13. pelinggih Arca
14. Sedahan Ngerurah
15. Panggungan
16. Apit Lawang
17. Bale Gong
3. Mandala Jeroan
Sebelum masuk mandala Jeroan melalui jalan di depan candi bentar Pura Puseh dan Pura Desa (Bale Agung) ke arah timur memasuki Kori Agung dan dikanan kirinya terdapat Apit Lawang dengan beberapa anak tangga sampailah di mandala Jeroan. Mandala ini menurut informasi I Wayan Rupa juga disebut Limas Duwur yang terdiri atas beberapa halaman (teras) dengan pelinggih dan bangunan lainnya sebagaai berikut :
Halaman Pertama : di halaman ini terdapat beberapa pelinggih dan bangunan sebagai berikut.
1. Bale Pesanekan
2. Bale Penyucian
3. Bale Penetegan
4. Perantenan
Di halaman ini juga terdapat Pura Ulun Carik, untuk memasuki pura ini melewati candi bentar dan Apit Lawang. Di pura ini terdapat beberapa buah pelinggih dan bangunan lainnya sebagai berikut.
1. Pelinggih Jero Sedahan Tangkeb Langit
2. Pelinggih Bhatara Sri
3. Pelinggih Limas Catu
4. Pelinggih Gunung Lebah
5. Bale Pesanekan
6. Piyasan.
Halaman Kedua : untuk mencapai halaman ini melewati beberapa anak tangga tetapi tidak terdapat Kori Agung maupun candi bentar. Di halaman ini terdapat pelinggih dan bangunan sebagai berikut.
1. Piyasan
2. Gedong Sari
3. Gedong Sinapa
4. Gedong Gunung Lebah
5. Gedong Siwa
6. Panggung Dedari
7. Pesaren (Pelinggih Arca)
8. Gedong Doho
9. Bale Peselang
10. Bale Gong
11. Panggungan
Halaman Tiga : halaman ini terletak di atas bukit yang dibatasi dengan penyengker yang terbuat dari padas dengan candi bentar menghadap ke arah barat. Untuk mencapai halaman ini melalui anak tangga yang jumlahnya 102 buah dan cukup melelahkan. Di halaman ini terdapat sebuah pelinggih tempat penyimpan arca Durga Mahisasuramardini, dan pelinggih ini dipugar tahun1964 oleh Lembaga Peninggalan Purbakala Nasional (LPPN) di Bedulu, Blahbatuh Gianyar. Pelinggih tempat arca tersebut sekarang direnovasi dengan material batu hitam bantuan dari Gubernur Bali.
Di sebelah selatan bale gong, di halaman Jeroan terdapat wantilan, untuk ke tempat tersebut, yaitu melalui candi bentar ke arah selatan dari halaman jeroan atau dapat di capai melalui halaman tengah (Jaba Tengah). Wantilan ini dipergunakan untuk pementasan kesenian pada saat upacara piodalan di Pura Bukit Darma.
1.3 Riwayat Penelitian
Pura Bukit Darma, yang terletak di Banjar Kutri, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, menyimpan tinggalan arkeologis terutama arca-arca kuno, seperti arca Durga Mahisasuramardini, Amoghapasa, Ganesa, arca Bhatara, arca Buddha dan lain-lain. Karena banyaknya arca-arca yang tersimpan di pura itu, para ahli arkeologi maupun sejarah melakukan penelitian terhadap arca-arca itu. Penelitian terhadap Pura Bukit Darma Kutri sudah dilakukaan sebelum pecahnya Perang Dunia II. Hasil penelitian itu telah dimuat dalam Oudheidkundig Verslag, tahun 1927 halaman 147-148 dengan menyebut beberapa pura. Adapun pura-pura di kompleks Pura Bukit Darma Kutri, antara lain : Pura Ulun Carik (Inv. No. 111), Pura Puseh (Inv. No 112), Pura Bukit Darma (Inv. No. 113), Pura Kedarman (Inv. No. 114) dan Pura Dalem (Inv. No. 115). Berdasarkan hasil penelitian yang telah disebutkan dalam Oudheidkundig Verslag itu dapat dikatakan, bahwa penelitian tersebut menitik beratkan pada inventarisasi.
Setelah merintis penelitian di Pura Bukit Darma Kutri, seperti tersebut dalam Oudheikundig Verslag, selanjutnya menyusun buku Ouddheden Van Bali terbit 1929. Di dalam buku ini telah memuat analisis terhadap beberapa arca di Pura Bukit Darma Kutri. Arca-arca yang ditemukan di Pura Bukit Darma Kutri oleh Stutterheim di kelompokkan pada periode abad X –XIII Masehi (Periode Bali Kuno). Arca-arca kuno lainnya yang di kelompokkan dalam periode abad X –XIII Masehi, adalah kelompok Gunung Penulisan, Goa Gajah dan Gunung Kawi (Stutterheim, 1929 : 116 – 117). Analisis yang penting dilakukan oleh Stutterheim adalah membuat suatu kesimpulan, bahwa arca Durga Mahisasuramardini adalah arca perwujudan dari Mahendradatta Ibu Elangga. Sedangkan Amoghapasa masih diragukan identitasnya, apakah arca perwujudan Udayana atau penggantinya (Stutterheim, 1929).
Dalam laporan tahunan, Dinas Purbakala Indonesia tahun 1951-1952 disebutkan, tentang pekerjaan perbaikan arca Durga di Pura Kedarman dengan melakukan beberapa bagian yang dapat dipasang kembali dengan mempergunakan semen sebagai perekat. (Dinas Purbakala, 1958 : 8).
Bangunan yang tergolong kuno dikompleks Pura Bukit Darma tidak ada lagi berdiri, tetapi ada petunjuk bahwa di lokasi itu pernah berdiri bangunan (candi), dengan adanya temuan berupa batu ambang pintu suatu bangunan (candi) dan kompenen bangunan lainnya. Hal ini diperkuat lagi, dengan adanya keterangan dalam prasasti Peguyangan, yang menyebutkan Sanghyang candi I burwan (Calleenfels, 1926 : 19).
Selanjutnya pada tahun 1982, penelitian dilakukan terhadap arca-arca kuno dan tinggalan lainnya di Pura Bukit Darma oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Jakarta bekerjasama dengan Balai Arkeologi Denpasar. Penelitian yang dilakukan, terfokus pada inventarisasi terhadap arca-arca kuno yang tersimpan di pura-pura Desa Burwan dan sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diperkira-kan, bahwa arca-arca yang tersimpan di Pura Bukit Darma Kutri berasal dari abad X- XIII Masehi.
Pada tahun1986, Balai Arkeologi Denpasar melakukan ekskavasi terhadap situs Pura Bukit Darma Kutri dengan tujuan, untuk mengumpulkan data tentang arsitektur, karena banyak di sekitar pura itu ditemukan komponen bangunan. Berdasarkan temuan itu, dilakukan beberapa tahap ekskavasi secara farsial di sekitar kompleks pura tersebut. Dengan adanya struktur bangunan yang ditemukan seperti tersebut di atas, maka untuk sementara dapat perkirakan bahwa di kompleks Pura Bukit Darma Kutri pernah berdiri bangunan (kompleks percandian) dengan batas-batas, yaitu di sebelah selatan di belakang rumah penduduk, dan batas utara sampai pada kali yang mengalir di sebelah utara rumah penduduk.
1.4 Asal Usul Nama
Mengenai nama Pura Bukit Darma Kutri pada kesempatan ini perlu dikaji, apakah nama itu muncul sejak berdirinya atau pada masa belakangan, karena pemberian nama pada suatu tempat menurut tradisi masyarakat, biasanya dihubungkan dengan suatu peristiwa tertentu atau hal lain yang terkait dengan tempat itu. Untuk mencari asal usul nama ini, kiranya sangat sulit karena terbatasnya data, dan pada kesempatan ini akan dicoba mengkaji berdasarkan data prasasti yang kemungkinan ada kaitannya dengan nama pura tersebut.
Sebelum membicarakan asal usul nama Pura Bukit Darma Kutri, ada baiknya terlebih dahulu membahas data yang telah diuraikan di depan. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui, bahwa ayah – bunda raja Anak Wungsu masing-masing lumah (dicandikan) di Burwan, dan lumah di Banu Wka. Kata bhatari dalam prasasti tidak lain, adalah Gunaprya Dharmapatni (sang ratu luhur), dan bhatara, adalah Dharmodayana Waradewa (sang ratu maruhani) (Goris, 1954 : 301). Menurut Goris, letak candi dan arca Gunaprya Dharmapatni adalah di Kutri (Burwan) dan arcanya berwujud Durga Mahisasuramardini yang tersimpan di Pura Kedarman (Goris, 1957 : 20). Selain arca di sekitar Pura Kedarman ditemukan batu-batu candi dan ada di antaranya berbentuk batu ambang pintu. Di Pura Kedarman yang terletak di puncak bukit itu, mungkin pada masa lalu pernah berdiri sebuah candi yang disebutkan dalam prasasti Peguyangan, yaitu sang hyang candi i burwan (Soekmono, 1974 : 225)
Berdasarkan keterangan di atas, dapat diperkirakan bahwa sang hyang candi i burwan, adalah bangunan candi untuk memuliakan arwah (roh) Gunaprya Dharmapatni yang dalam wujud pisik diwujudkan sebagai Durga Mahisasura-mardini. Pura Kedarman sebagai identifikasi dari sang hyang candi i burwan mempunyai bukti-bukti, seperti arca Durga Mahisasuramardini, batu ambang pintu, batu-batu candi, serta letaknya di atas bukit yang dianggap sebagai alam arwah atau dewa. Arca Durga Mahisasuramardini di Pura Kedarman berukuran besar (237 cm) dan dapat dikatakan insitu dan dapat dipakai untuk mengidentifikasi bhatari lumah i burwan (sang ratu luhur = Gunaprya Dharmapatni) sebagai seorang raja putri keturunan Jawa pada masa itu. Data lain yang dapat dipergunakan untuk menguatkan, bahwa Pura Kedarman sebagai sang hyang candi i burwan adalah unsur kata darma pada kata Kedarman. Kata darma (dharma bahasa Sansekerta) di samping mempunyai arti yang lain, dapat juga berarti “candi pemujaan, pemakaman” (Mardiwarsito, 1981 : 171). Dugaan ini diperkuat oleh data prasasti yang menyebutkan bahwa raja Jayapangus dicandikan di Dharmahanar (Pura Pengukur-ukuran) kemudian disebut bhatara ring dharmahanar (Callenfels, 1926 : 47). Kata darma (dharma) sampai sekarang masih dipakai untuk mengidentifikasi bangunan pemujaan untuk arwah nenek moyang (kawitan). Bangunan itu disebut pedarman yang banyak ditemukan di kompleks Pura Besakih.
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa bagian prasasti yang menyebutkan thani karaman i burwan. Menurut Goris bahwa di sekitar sang hyang candi i burwan terdapat pemukiman penduduk yang bernama karaman (desa) burwan. Kemungkinan kata thani di depan kata karaman i burwan itu dapat ditafsirkan untuk menunjukkan wilayah burwan pada masa lalu, mengingat kata thani berarti “wilayah desa” (Goris, 1954b : 319). Selain itu, perlu diketahui tentang mpungkwing kutrihanar (kutrihanar) dan mpungwing burwan karena kedua nama tempat itu sebagai tempat kediaman pendeta Buddha. Perkataan kutrihanar terdiri atas kuti dan hanar ; kuti (kuti bahasa Sansekerta) berarti ”biara, asrama, pertapaan”. Sedangkan kata hanar berarti “baru”, kutihanar, berarti “asrama baru”. Kutihanar, adalah nama tempat kebudaan di Bali (Mardiwarsito, 1981 : 301). Kata kutihanar selain tersebut dalam prasasti Tengkulak A., juga disebutkan dalam prasasti Buwahan E, dan Campaga C (Callenfels, 1926 : 45). Dalam prasasti Sukawana D, dan Pengotan E terbaca kurtihanar dan juga menyebutkan mpungkwing burwan. Kata kutihanar yang tersebut dalam prasasti Tengkulak A sama dalam prasasti Buwahan E, dan Campaga C, kemudian mengalami korespondesi bunyi pada prasasti Sukawana D, dan Pengotan E, lalu menjadi kutrihanar. Lambat laun terjadi pemotongan kata sehingga kata kutrihanar hanya diucapkan kutri saja, dan menjadi nama Banjar Kutri tempat kompleks Pura Bukit Darma sekarang.
Berdasarkan uraian di atas menurut perkiraan bahwa nama Pura Bukit Darma Kutri muncul sejak pura itu dibangun atau di dirikan, kemungkinan nama itu diambil dari keberadaan (tempat di atas bukit) di mana pura itu berada, kemudian dikaitkan dengan fungsi (sebagai pedarman). Kemudian suatu bangunan suci sebagai tempat pemujaan sudah tentu ada masyarakat (wilayah desa) yang bertanggung jawab atas kelangsungan bengunan suci tersebut. Dengan demikian nama Pura Bukit Darma Kutri sudah muncul sejak pura itu dibangun.
1.5 Tinggalan Arkeologi
Di situs Pura Bukit Dharma terdapat empat buah pura, yaitu Pura Puséh, Pura Bukit Dharma, Pura Ulun Carik, dan Pura Kédarman. Masing-masing pura itu berada pada teras dari sebuah bukit, yakni Pura Puséh terletak pada teras pertama, pura Ulun Carik terletak pada teras kedua, pura Bukit Dharma terletak pada teras ketiga, dan Pura Kédarman terletak di teras keempat atau di puncak bukit karang. Untuk mencapai Pura Kédarman yang terletak di atas bukit itu melalui anak tangga (undak-undak) yang ada pada masing-masing teras yang paling banyak jumlah anak tangga nya, yaitu sebanyak 102 buah.
Dari pelinggih-pelinggih yang ada di pura tersebut tidak semuanya merupakan tempat penyimanan arca, misalnya :
- Pura Puséh, pelinggih yang menjadi tempat penyimpanan arca, adalah satu buah pelinggih, oleh masyarakat disebut Gedong, Tungkup.
- Pura Bukit Dharma, pelinggih yang menjadi tempat penyimpanan arca adalah dua buah, yaitu pelinggih Pesaren dan pelinggih Doko.
- Pura Kedarman, yang letaknya di atas bukit karang dengan luas 13 x 10,24 meter terdapat sebuah pelinggih berukuran 5 x 5 meter. Pelinggih ini merupakan tempat penyimpanan arca Durga Mahisasuramardhini dan beberapa arca lainnya. Pelinggih ini selesai dipugar oleh Dinas Purbakala Bali tanggal 28 Maret 1962.
- Penelitian terhadap situs Kutri (Pura Buklit Dharma) sudah dilakukan sebelum pecahnya perang Dunia II. Hasil penelitian itu sudah dimuat dalam buku Oudheidkundig verslag dan menyebutkan beberapa pura yang ada di Kutri, antara lain Pura Ulun Carik, Pura Puséh, Pura Bukit Dharma, Pura Kédarman. Penelitian yang dilakukan itu bertitik beratkan pada inventarisasi (Stutterheim, 1927 : 147-148). Tetapi meskipun belum mengarah/mengacu kepada analisis, hal itu merupakan perintis jalan terhadap penelitian arkeologi di masa mendatang.
Di dalam buku Oudheiden van Bali telah dimuat analisis terhadap beberapa arca yang terdapat di pura itu. Arca-arca yang terdapat di kompleks Pura Bukit Dharma Kutri dikelompokkan pada periode Bali Kuno (abad X-XIII M), adalah kelompok Gunung Penulisan, Goa Gajah, Gunung Kawi (Stutterheim, 1929 : 116-117).
Dalam laporan tahunan Dinas Purbakala Indonesia tahun 1951 – 1952 disebutkan tentang perbaikan arca Durga di Pura Kédarman dengan pemasangan bagian yang dapat ditemukan kembali dengan mempergunakan semen sebagai perekat (Dinas Purbakala 1958 : 8).
Kemudian pada tahun 1957 terlihat kembali sebuah artikel yang berjudul ”Dinasti Warmadewa di Pulau Bali” dalam Bahasa dan Budaya yang juga menguaraikan tentang arca Durga di Pura Kédarman dan Pura Puséh (Goris, 1957 : 20).
A.J. Bernet Kempers dalam bukunya Bali Purbakala dan Monumental Bali juga menguraikan secara singkat arca Amoghapasa di Pura Puséh dan arca Mahisasuramardhini, gamparan (bakyak) dan arca Ganesa (Bernet Kempers, 1960 : 49 dan 1977 : 166-168).
Adapun arca-arca yang terdapat di pura itu adalah sebagai berikut :
1. Pura Puséh,
Di pura ini tersimpan 2 (dua) buah arca yaitu :
1. Arca Durga Mahisasuramrdhini , dan
2. Arca Amoghapasa.
2. Pura Bukit Dharma
Di pura ini tersimpan 6 (enam) buah arca yang terdiri dari 5 buah arca perwujudan Bhatara dan 1 (satu) buah arca Buddha
3. Pura Kédarman
Di pura ini terdapat 9 (sembilan) buah arca dan benda kuno lainnya, terdiri 5 buah arca perwujudan Bhatara/Bhatari, 1 buah lingga ganda, 1 buah gamparan, 1 buah arca ganesa, dan 1 buah arca Durga Mahisasuramardhini.
Di pura tersebut disimpan arca dewa dan perwujudan, dan konsepsi dasar pemujaan arca perwujudan adalah kepercayaan terhadap roh leluhur. Untuk itu terlebih dahulu harus berpijak pada zaman prasejarah. Karena pada zaman itu terdapat kepercayaan, bahwa puncak gunung atau pegunungan adalah sebagai alamnya arwah (Linus, 1983 : 6). Untuk itu, pemujaan terhadap roh leluhur mereka mendirikan menhir, tahta batu, punden berundak (Darmosoetopo, 1984 : 117).
Pemujaan terhadap nenek moyang berlatar belakang dari adanya penghormatan terhadap jasanya yang melindungi keturunannya. Dan untuk menunjukkan letak tinggi (gunung atau bukit) itu, maka tidak jarang sebuah menhir di dirikan di atas sebuah bangunan berundak-undak.
Setelah bangunan berbentuk menhir tidak dibuat lagi, sering terjadi tempat pemujaan roh nenek moyang diwujudkan dalam bentuk arca-arca (Soekmono, 1973 : 77). Temuan arca-arca dari zaman prasejarah di antaranya nenek moyang terdapat di Pasemah. Untuk daerah Bali, arca-arca dari zaman prasejarah ditemukan di Depaa Kabupaten Buleleng, pura Besakih Desa Keramas (Blahbatuh, Gianyar), dan lain-lainnya. Arca-arca di pura Besakih Keramas memeperlihatkan sikap menyembah sebagai salah satu unsur sikap arca perwujudan leluhur (Mahaviranata, 1980 : 119).
Sekitar abad ke-5 pengaruh Hindu masuk di Indonesia, dengan penemuan prasasti Tugu. Dalam prasasti tersebut terdapat kalimat yang menyebutkan, bahwa raja Purnawarman mengatakan dirinya titisan dewa Wisnu dengan gambar telapak kaki dewa Wisnu (Poerbatjaraka, 1951 : 13). Selain ditemukan arca Wisnu di Cibuaya yang diperkirakan berasal dari abad ke-6 dan ke-7 Masehi (Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Barat,1977 : 42).
Pengaruh Hindu itu bukan saja berkembang di Jawa Barat, tetapi juga berkembang di Jawa Tengah dengan hasil seni klasiknya yang menampakkan kelemah-lembutan dengan konsepsi kedewataan India (Suparto, 1956 : 58). Hal ini dapat dibuktikan pada arca Wisnu di Candi Banon, arca Buddha di Candi Borobudur, arca Siwa di Candi Prambanan (Soekmono, 1973 : 94-97).
Pada masa Jawa Timur, di Bali nampak terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan ikonografi India yang dapat diketahui dari langgam arca yang mulai menampakkan sikap kaku (seperti mayit), dan pemberian atribut. Penyimpangan itu terjadi karena konsep dasar pengarcaan di Indonesia berbeda dengan konsep ikonografi India, sehingga arca dewa dengan atribut yang menyimpang menggambarkan arca perwujudan tokoh (Geria, 1986 : 41).
Dalam Kamus Arkeologi I, arca perwujudan merupakan perwujudan dewa yang disembah oleh penganutnya untuk tujuan pemujaan. Di Indonesia seorang raja telah wafat diarcakan sesuai dengan agama yang dianutnya. Di samping tanda-tanda kedewataan yang dibawanya, arca perwujudan ini bertangan dua yang ditekuk sejajar perut dengan telapak tangan menghadap ke atas, memegang kuncup bunga teratai (Ayatrohaedi, 1981 : 18).
Kemudian Ir. J.L. Moens mengupas mengenai benda bulatan yang dibawa oleh arca-arca itu dalam hubungannya dengan pembebasan jiwa. Bulatan (bunga teratai) itu erat hubungannya dengan roh seorang dalam usahanya mencapai kebahagiaan rohani. Sebab, apabila seorang masih hidup, rohaninya masih diselimuti oleh karma (perbuatan) dan badan kasar. Tapi lama kelamaan, jiwa halus itu akan bebas juga. Dengan demikian, tiap arca yang membawa bulatan dalam arti atribut yang menyimpang dari biasanya, dapat disebut arca perwujudan atau patung potret (Mantra 1960 : 6).
Di Bali banyak ditemukan arca yang tergolong perwujudan, tetapi tidak jelas tokoh yang diarcakan. Dalam perkembangan arca perwujudan di Bali sekitar abad 10-13 Masehi, lebih cendrung mengarah kepada perwujudan raja-raja.
Dari data prasasti Bali dapat diketahui, bahwa raja itu adalah titisan dewa. Hal ini dapat dibuktikan dari prasasti atas nama raja Jaya Sakti (1133-1150 Masehi), menyebutkan raja sebagai perwujudan dewa Wisnu (Astra 1982 : 6).
Oleh sebab itu, terjadilah penyatuan pandangan terhadap roh leluhur dengan dewa. Apabila raja meninggal akan kembali kepada dewa penitisannya. Kemudian, bila seorang mengadakan upacara/pemujaan terhadap roh leluhur sekaligus memuja dewa.
Di Bali, pembuatan arca perwujudan tidak berkelanjutan lagi sejak masa pemerintahan Dalem Watu Renggong (abad 15-16 Masehi). Ketika Dang Hyang Nirarta menjadi Porohito di Bali, tradisi pembuatan arca perwujudan itu tidak dilakukan lagi, dan Atmapratistha tidaklagi dibuat dalam bentuk arca, melainkan dengan menggunakan Daksina Pelinggih yang sifatnya sementara (Geria 1986 : 44).
Readmore...

AJARAN KANDAPAT

0 komentar
 
AJARAN KANDA PAT SARI
Inilah ajarannya KANDA PAT SARI . Kanda = tutur = petuah = cerita = tetingkah = kesaktian = kesidian = kewisesan. Pat = empat Sari = utama jadi, Kanda Pat Sari berarti empat macam ajaran yang utama tentang ilmu kesaktian, kesidian dan kewisesan.

Beginilah ceritanya : pada waktu kita lahir ke dunia ini, pada saat yg sama lahir pula Sanghyang Panca Mahabutha, yang lahir bersama-sama dengan Sanghyang Tiga Sakti. Beliaulah Sanghyang Tiga Sakti amor ring Buwana Agung, kemudian dipuja oleh semua mahkluk hidup di dunia. Beliau di puja di Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem.

Sedangkan Sanghyang Panca Mahabutha menjadi pepatih di segala penjuru dunia. Sebagai pemelihara dunia. Dan semuanya mahasakti tidak terhingga. Bila di puja, diyakini, dan diresapi, maka Beliau dapat ngrangsuk ke dalam badan. Dapat memberikan jalan menuju kebijaksanaan, kewibawaan, kesaktian, kesidian, kawisesan, dan kemulyaan.

Inilah adanya beliau :

1. Yang paling tua berwujud yeh nyom, yang disebut ANGGAPATI, yg menjadi patih di pura ulun suwi, yg bernama I RATUNGURAH TANGKEB LANGIT, yang diikuti oleh Sang Bhuta Swadnya, Sang Bhuta Swasti, Sang Bhuta Tenggara, Beliau sbg dewanya sawah, gunung, sbg pemelihara dunia dan dipekarangan Beliau berstana di tugu (yg bertempat di barat laut) sbg dewanya segala hewan, bila di dlm badan beliau berstana di Kulit yg disebut Segare Tan Patepi dgn aksaranya “SANG” , berwujud Amerta Sanjiwani, rembesannya keluar dalam bentuk keringat. Faedahnya adalah untuk membasmi segala penderitaan, pada badan termasuk penyakit yang berat maupun penyakit yang ringan. Demikian pula apabila mendapat penderitaan karena melakukan sumpah Cor, dapatlah diampuni.. penjelmaan Beliau adalah berbentuk langit yg cemerlang, menjadi damuh(air gerimis yg jatuh dr langit pada dini hari) demikianlah saktinya I Ratu Ngurah Tangkeb Langit.

Sesaji/ banten aturan kepada Beliau :
Ketipat dampulan matenggek, taluh bokasem, segehan kepelan putih me be bawang jahe.

2. Yang paling wayanan ( yg lahir ke 2 ) berwujud Darah, yang bernama MRAJAPATI, kemudian menjadi patih di pura Sada. Kemudian beliau bergelar I Ratu Wayan Tebeng, diikuti oleh Sang Bhuta Usadi, Sang Bhuta Keli. Beliau sbg Dewatanya hutan, gunung, jalan, pintu keluarnya rumah ( lebuh ), pohon kayu, segala tumbuh-tumbuhan. Dalam badan Beliau berstana di dalam Darah. Sebagai Amerta Kamandalu, rembesannya adalah Bayu. Aksarantya
“BANG”
Yang bernama Tampaking Kuntul Nglayang. Fungsinya adalah untuk menolak segala perbuatan jahat baik skala maupun niskala. Semua dapat di tolaknya. Penjelmaannya menjadi api unggun, gunung, hutan, jalan, pohon besar.

Sesaji/ banten aturan kepada Beliau :
Ketipat galeng dgn telur itik, segehan barak me be bawang jahe.

3.Yang lahir madenan ( lahir no 3 ) berwujud Ari-ari yang bernama BANASPATI, menjadi pepatih di Pura Puseh. Beliau bergelar I Ratu Made Jelawung. Diikuti oleh Sang Bhuta Prajapati, Bhuta Bisrana. Beliau adalah dewatanya tanah tegalan, dewatanya perkebunan, dewatanya penginih-inih, dan segala yg berbuat jahat musnahlah adanya. Termasuk orang yang berbuat jahat di dalam pekarangan rumah, musnah adanya. Di dalam badan Beliau berstana di dalam Daging, dan di semua lubang yg ada di badan. Aksaranya adalah “TANG”
Kemudian disebut Galihing Kangkung. Rembesannya berbentuk rambut. Penjelmaan Beliau berwujud angin kencang, mahluk kecil ( gumatat-gumitit ), menjadi tegalan yg sangat luas, berwujud perkebunan yg pagarnya sangat sempurna, berwujud rumah besar yg bertembok tinggi.

Sesaji/ banten aturan kepada Beliau :
Ketipat gangsa, me be sate gede, segehan kepelan kuning me be bawang jahe.

4.Yang lahir Nyomanan (lahir no 4) berwujud Lamad ( Lamas )
Bernama BANASPATI RAJA, menjadi patih di Pura Dalem. Kemudian bergelar I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan. Di ikuti oleh Sang Bhuta Grabwag, Bhuta Sundung, Bhuta Slusuh, Bhuta Sendra. Beliau sakti tiada tandingannya. Beliau sbg pemelihara dunia. Sbg dewatanya kuburan, dewatanya sungai, jurang , pamgkung, , dewatanya Dete, Tonya, Samar, dewatanya pantai, dewatanya semua jenis burung, dewatanya semua balyan pengiwa dan penengen. Beliau menciptakan kekuatan mantra. Di dalam badan Beliau berstana di Urat. Beliau perwujudan Amerta Maha Tirta. Rembesannya menjadi Maolah. Aksaranya adalah “ANG”
Artinya Isin Buluh Bumbang. Penjelmaannya berwujud lautan, sungai, burung, berwujud manusia spt kita , orang tua yg berkampuh poleng.

Sesaji/banten aturan kepada Beliau :
Ketipat gong me be taluh meguling, sesari 11biji uang kepeng, rokok, segehan kepelan selem me be bawang jahe.

5.Yang lahir ketutan ( no 5 paling akhir )
Bernama BHUTA DENGEN. Menjadi pepatih di Pura Desa. Bergelar I Ratu Ketut Petung. Diikuti oleh Sang Bhuta Ngemban Nginte, Sang Ayu Draning, Beliau sbg Dewatanya Balang Tamak Bale Agung, dewanya Pelangkiran, dewanya Pasar, dewanya Tukang, sangging, undagi, pande, dewanya bale banjar, dan dewanya segala jenis Ikan.di badan Beliau berstana pada Tulang dan Sumsum, perwujudan Amerta Pawitra, rembesannya berwujud Rasa, aksaranya “ ING”
Yang di sebut Lontar Tanpa Tulis. Beliau sbg pemelihara kandungan, pemelihara diri sendiri. Beliau di benarkan membunuh musuh yg jahanam, pada diri kita. Penjelmaan Beliau berwujud Kilat, Bale agung, ikan, manusia laki-laki dan perempuan.

Sesaji/ banten aturan kepada Beliau :
Ketipat leket akelan, me be taluh bajongan, segehan brumbun me be bawang jahe.

Ini supaya di ingat, saktinya Beliau SANGHYANG PANCA MAHABHUTA, bila di kehendaki dan ingin memiliki kesaktian tersebut, wujudkanlah kekuatannya, masukkanlah di dalam badan, supaya menyatu dengan kita, merokok tidak dibenarkan dalam mempelajari Ilmu

MANTRA PEMUJAAN DAN PERMOHONAN
TATA CARA DAN UPACARA

Mantra pemujaan Beliau :

Ong Ang Ang Ong
Ong Ing Ong Ung Ang Ah Ah Tang
Ong Kyah Kyah Ong Shah
Ung Rung Reng Rong Wasat
Ong Ong Mang Wyang Syah

Mantra permohonan kepada Beliau :

Ih I Ratu Ngurah Tangkeb Langit
I Ratu Wayan Tebeng
I RatuMade Jelawung
I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan
I Ratu Ketut Petung
Aja sira lali asanak ring ulun
Apan ulun tan lali astiti bhakti ring sira
Wehan ta ulun panugrahan……… (sakti sidhi ngucap)
………………………………………………………………
Ong winursita rsyamuka
Angamet sarining amerta kusuma ya nama swaha

Jangan di lecehkan, karena mantra ini adalah ciptaan Beliau Bhatara Dalem.dapat dipergunakan sekehendak hati. Tinggal menambahkan kalimat permohonan pd titik-titik tersebut di atas. Mau sakti dalam segala hal perwujudan. Tidak dapat di tundukkan dalam segala kewibawaan. Yang jauh dapat di buat dekat, yg dekat dapat di buat jauh, segala yang ganas menjadi jinak.

Kemudian apabila berkehendak memuja Beliau Sanghyang Panca Mahabhuta supaya segera menyatu dengan diri kita, pada hari Sabtu Kliwon wuku Landep atau Hari Tumpak Landep ( hari piodalan Ida Sanghyang Panca Mahabhuta )

Banten/ upakara/ aturan kpd Beliau :

Banten/sesaji banten ketupat seperti yg telah disebutkan di atas tadi di tambah dengan :
-Rayunan satu pajeg ( be/ikan diolah sampai matang) ikan ayam, babi, itik
Boleh dipakai.
-Suci satu soroh
-Daksina gede satu dengan sesari 41 uang kepeng ( pis bolong )
-Permen/pemanisan satu dulang
-Rantasan secukupnya ( kain warna putih,merah,kuning, dan hitam )
-Segehan agung satu
- Ayam samumulung satu untuk samleh
-Tetabuhan arak-berem.
Dan juga banten pras pejati yg dihaturkan kehadapan Sanghyang Tiga Sakti dan leluhur kita, untuk mohon restu semoga Beliau semua berkenan dan Asung kerta wara nugraha.
Setelah sesajen diatas lengkap, kemudian diikuti dengan mantra2 danditambah dengan ucapan dgn bahasa sendiri sesuai permohonan. Permohonan itu hanya boleh diucapkan satukali saja yaitu kepada IDA IRATU NYOMAN SAKTI PENGADANGAN saja….karena Beliaulah nantinya yg akan memanggil saudara2nya untuk ikut merestui permohonan kita.

Inilah cara-caranya :

Pertama-tama banten pras pejati dihaturkan dihadapan pelinggih rong tiga katur ring Ida Sanghyang Tiga Sakti atau ring padma, jg banten pras pejati di haturkan ke leluhur minta doa restu. Selanjutnya sembahyang. Kemudian ucapkan mantra spt di bawah ini………….

Ih, I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, metu kita saking jagat wetan, ajakan waduanira, roang sira kabeh, apupul ring pesamuan, manusanta angaturaken:
Ketipat dampulan matenggek, maulam taluh bokasem, segehan kepelan putih maulam bawang jahe.

Ih, Iratu Wayan Tebeng, metu kita saking jagat kidul, ajakan waduanira, roang sira kabeh, apupul ring pesamuan, manusanta angaturaken: Ketipat galeng maulam taluh bebek, segehan kepelan barak maulam bawang jahe.

Ih, I Ratu Made Jelawung, metu kita saking jagat kulon, ajakan waduanira, roang sira kabeh, apupul ring pesamuan, manusanta angaturaken: Ketipat gangsa, maulam sate gede, segehan kepelan kuning maulam bawang jahe.

Ih, I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, metu kita saking jagat lor, ajakan waduanira, roang sira kabeh, apupul ring pesamuan, manusanta angaturaken:
Ketipat gong maulam taluh meguling, sesari 11biji uang kepeng, rokok, segehan kepelan selem maulam bawang jahe.

Ih, I Ratu Ketut Petung, metu kita saking jagat madya, ajakan waduanira, roang sira kabeh, apupul ring pesamuan, manusanta angaturaken: Ketipat leket akelan, maulam taluh bajongan, segehan kepelan brumbun maulam bawang jahe.

Tiosan saking punika wenten malih aturan manusanta mekadi suci asoroh, daksina gede, rayuna lan pemanisan, rantasan, segehan agung muang penyambleh ayam samumulung, metetabuhan arak berem.

Ajasira lali asanak ring ulun, Apan ulun tan lali astiti bakti ring sira, Wehan ta ulun panugrahan………………………………………………….. ( titik2 disi dgn permohonan menurut bhs nasing2 ) , Ong Winursita resyamuka angamet sarining amerta kusuma ya nama swaha.

Mantra diatas di ucapkan ber ulang- ulang secara pelan dan lirih , penuh dgn konsentrasi, sambil menghayati dan meresapi setiap katanya. Bila diterima kita akan merasakan suatu sensasi spiritual. Setiap org akan merasakan sensasi atau getaran yg berbeda.
Dan inilah ciri-ciri kalau Beliau telah menyatu pada kita :

Bila terasa badan kita besar dan keluar keringat seketika, tandanya beliau I Ratu Ngurah Tangkeb Langit telah menyatu pada diri kita. Segala penyakit dan penderitaan musnahlah adanya.

Bila terasa panas pada telinga, dan terbelalak rasanya mata, tidak mampu berkedip, tandanya beliau I Ratu Wayan Tebeng menyatu pada diri kita, segala mara bahaya dan penyakit di tolaknya.

Bila terkejut dan merasa takut, bulu kuduk berdiri seperti angin dingin, tandanya beliau I Ratu Made Jelawung menyatu pada diri kita, segala penyakit yang berasal dari upas dan cetik musnah semuanya.

Bila berdenyut pada kemaluan, dan hidup secara tiba-tiba, berat rasanya badan, seolah-olah ingat dan rindu pada sesuatu yg bersifat gaib, tandanya beliau I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan menyatu dengan diri kita. Tidak takut dalam segala bentuk tantangan.

Bila tiba-tiba kita menjadi pintar, mampu berbicara banyak, pembicaraan yang halus dan manis, tandanya I Ratu Ketut Petung menyatu pada diri kita. Segala penderitaan sirna adanya.

Inilah cirri-ciri beliau pada alam semesta raya ini :

Bila kita merasakan atau mencium bau yang harum seperti bau bunga, kemudian megledug seperti jatuhnya buah kelapa , seperti suara bedeg diinjak-injak, itu semua adalah pengikut I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan. Beliau memanggil saudaranya semua, untuk mau menyatu pada diri kita.
Readmore...

LONTAR KANDAPAT

5 komentar
 
NIHAN TUTUR SARINING  ADHI  PHALA.

Iki panugrahan Bhatara ring Dalem, nga. sarining adhi phala nia, temah, wisya, dusta ring awak ngawe gering salah beda, buduh, kalanan, ampah yusa, kohos ring brana mulya. Yan sira pingit nganggo panugrahan iki, moga sidhi ngucap, akadang Dewa, katwaning jagat kabeh,wenang sira nunas ica ring Dewa, wus mangkana wenang sira nuduh Sang Hyang Panca Maha Bhuta, wenang ngasorang sehananig tenung, sakeluiring mantra, tutur satus cakep alah denia, banten asoroh alah denig ajuman adulang, mangkana uttama nia ya sira ngangge panugrahan iki, nanging sira tan weruh ring kawisesanta,  yan genahang ring umah, Sang Ratuning sarira, dadi pangijeng umah, sedaging pekarangan kaempu denia, nanging elingakna baktinin dening banten ngangken dina rahayu, wenang sira ngangge pangijeng umah, tan kewasa sira kelangkahin, tan keneng wisya, pepasagan, papendeman, acep – acepan, umik – umikan, sakwehig pagawe ala alah denia.
Malih yan sira astiti bakti ring Ida, wenang gawenang Khayangan, nista nia, Turus lumbung, Madya nia Gedong, Padma Uttama nia, aywa lupa ring bebanten nia, ngangken dina rahayu, dadi sakti kiwa tengen, tan kasoran dening sarwaning sakti, katekanig Desti, Leak, Bebai, pada nembah ring sira, dadi kauttamanig balian. kauttamanig mantra, kauttamaning kamoksan sekala niskala, sira mungguh suwaha, mangkana uttamnig tutur iki.

Iki kaweruhakna, pewarah Bhatara ring Dalem, duk sira wawu mijil ring madya pada dadi manusa, Sang Hyang Tiga Sakti sareng mijil, kairing dening Sang Hyang Panca Maha Bhuta, Ida Sang Hyang Tiga Sakti anerus ring buwana agung, dadi panembahan jagat, malingga ring Pura Dalem, nga. Sang Hyang Sunia Mretta.  Ne malingga rig Pura Puseh, nga, Sang Hyang Legi Swara. Ne malingga rig Pura Desa, nga, Sang Hyang Manu Ida, Sang Hyang Tiga Sakti tunasin kasidian, reh Ida Sakti sidhi ngucap, Ida punika susupang ring raga, Bhtara Dalem adegang ring Siwadwara, nga, Ayu Mas Rangda. Bhatara Puseh adegang ring uswan, nga, Sang Hyang Nila Sraya, Bhatara ring Desa adegang ring selanig lelata, nga, Sang Hyang Smara Bhawa. Ida sakti ring sarira, tan hana wani ring sira.
Muang Sang Hyag Panca Maha Bhuta, weruh akna kawisesan nia sowang – sowang, muah pasurupan nia kabeh ring sarira, iki luir nia: Ikang panuwa meraga Yeh Nyom, Dadi Bhuta Putih, dadi Bhuta Anggapati, nga, Sang Sidarasa, madeg patih rig Pura Ulun Swi, nga, I Ratu gurah Tangkeb Langit. dadi Dewan Tugu, Dewan Badugul, dadi dewan Sedahan Sawah, muah dadi Dewa pangempu Gumi, dadi Dewa Sarwa sato, yan ring raga magenah ring Kulit. pewayangan nia, segara tanpa tepi, aksara nia SANG meraga mretta sanji wani, trebasan nia dadi peluh, wenang nglukat saletehing sarira, sarat mangan, yadyan kena saupedrawaning Pitara, kalukat denia, Pewayangan nia katon kadi langit galang, kadi kukus, kadi damuh kumaretes, Lelaban nia, ketipat dampulan, taluh bekasem, canang pasucian, segehan nasi kepelan, iwak bawang jahe tasik ireng.
Sane paling wayahan, mawak getih, dadi Bhuta Bang, dadi Bhuta Mrajapati, nga, Sang Sidha Sakti, madeg pepatih ring Pura Sada, nga, I Ratu Wayan Teba, dadi Dewan gunung – gunung, Dewan alas, Dewan Marga, Dewan Geluh, yan ring rag Ida magenah ring getih, nga, Tampaking Kuntul ngelayang, aksara nia, BANG, meraga mretta kamandalu, trebasan nia dadi bayu, Wisesa nia nyaga satru rahina wengi, anulak sakeluirig dusta durjana, sekaryaning ala wedi denia, pewayangan nia katon kadi geni, kadi gunung, kadi alas, kadi taru mageng, kadi marga lor. Laba nia, ketipat galeng, ulam taluh, canang pasucian, segehan nasi kepelan barak, iwak bawang jahe, tasik ireng.
Sane madenan, mawak ari – ari, dadi Bhuta Kuning, dadi Bhuta Banaspati, nga, Ratu Maskuwanda, madeg pepatih ring Pura Puseh, meparab Ratu Made Jelawung, dadi Dewan karang, Dewan tegal peabianan, dadi Dewan Mala Hening, ring ragane magenah ring daging, nga, Galihing Kangkung, Aksara nia, TANG, meraga mretta kundalini, trebasan nia ring bulu, rambut, wisesa nia nulak sakeluirin upas, wisesa nia, mandi teka tawar denia, pewayangan nia katon kadi tegal, kadi angin, kadi umah, kadi tembok tegeh, lelaban nia, ketipat gangsa, iwak sate gede, canang pasucian, segehan nasi kepelan warna kuning, iwak bawang jahe, tasik ireng.
Sane nyomanan, mawak lamas, dadi Bhuta Ireng, dadi Bhuta Banaspati Raja, nga, Sang Aji Putih, madeg pepatih ring Pura Dalem, meparab, Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, Ida sakti tan kena winilang, sakti sekama – kama, Ida dadi Dewan Sema, Dewan Tukad, Dewan pangulun pangkung, dadi dewan Detya Tonya, dadi Dewan Samar, dadi Dewan Taksu, unen – unen, taksu dalang, taksun balian, tenung, saluiring balian sakti, ida ngelancubin, sakti nerus, Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, yan ring raga magenah ring otot, nga, galihig kangkung, aksara nia, ANG, meraga tirta amretta, trebasan nia dadi banyu, Ida wenang ngasorang saluiring mantra uttama. Ida wenang ngawe piolas, ngawe pangedeg, ngawe ujan, manerang, Ida wenang impasin grubug, saluiring panca baya ring sarira, teka tingglar denia, wenang ngawe pangidep ati, wenang ngawe peglantih medagang, maha sakti maya – maya, wenang ngawe koos, ngawe inih, pewayangan nia katon kadi paksi, kadi manusa patuh ring ragane, kadi anak lingsir masaput poleng, kadi sarwa sekar, laba nia ketipat gong, iwak nia taluh maguling, canang pasucian, segehan nasi kepelan ireng, iwak bawang jahe,
tasik ireng.
Malih sane pinih ketutan, meraga yeh heningan sarira, dadi Bhuta Manca Warna, nga, Bhuta Tiga Sakti, dadi Bhuta Dengen, madeg patih ring Pura Desa, meparab I Ketut Petung, dadi Pagempu anak beling, dadi pangempu rare, dadi pangempu raga, tan sangsaya ring paran –
paran, muang dadi sarwa karya, dadi sangging, dadi tukang, dadi pande, yan ring raga magenah ring jajah, nga, Lontar tanpa tulis, Aksara nia, ING. meraga mretta pawitra, trebasan nia dadi rasa, Ida dadi pengasih jagat, wenang ngalahang satru sakti, pewayangan nia katon kadi peken, katon kadi rare, kadi anak luh jegeg, dadi Dewan gumatap gumitip, laba nia ketipat lepet, ketipat nasi pada – pada akelan, ulam taluh bebek, canang pasucian, segehan nasi kepelan brumbun, iwak bawang jahe tasik ireng,
Pangredanan nia, panugrahan Bhtara ring Dalem.I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, I Ratu Wayan Teba, I Ratu Made Jelawung, I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, I Ratu Ketut Petung, aja sira lali asanak ring ulun, apan ingulun tan lali bakti astiti ring sira, lah pada metuta sira maring sunianing adnyana, wehan ulun wara lugraha sakti sidhi ngucap, Wong winursita rahasya muka, angamet sarining mretta kesuma namah swaha. 
Malih hana pangredanan nia liyan. wenang dulurin antuk atur polos. saha pinunase, yan sampun patut upekarane, dadi sidhi sakti sakeluiring tunas, yan sira kurang kasidhian, arad Ida, mangda gelis manyeneng ring raganta, karyaninn ketipat kadi munggah ring arep, dulurin rayunan apajeg kadi katur ring anak agung, ulam bawi, bebek, pada wenang, olah dena sregep, mangda sami becik, maduluran peras ajuman, suci asoroh, daksina, sarwa rantasan, kampuh poleng, tetabuhan genep, arak, tuak, brem, yeh, mangkana krama nia, yan makayun ngadegang kasidhian ring ragane, ayat Ida, Sang Hyang Panca Maha Bhuta muang Ida Bhatara ring Dalem, Puseh, Desa, sami susupang ring raga, mangda sami Ida sweca, ngawijilang iyuse.  Mekadi pangenter kesaktiane, I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, sareng sameton sami, sane sampun madeg patih, nampihi I Ratu Nyoman.
Iki tatenger nia ring raga.
  1. Yan kerasa gede raganta, muah metu peluh tanpa sangkan, ika cihna nia I Ratu Ngurah Tangkeb Langit malancub ring raganta, sakwehing leteh ring raga ilang de nia.
  1. Yan kerasa kebus bahang murub, ika cihna nia I Ratu Wayan Teba melancub ring raganta, sakwehing satru muang gering kalukat den nia,
  1. Yan kerasa makesyab awakta, muah mabuah – buah kulit bulunta jering – jering, ika cihna I Ratu Made Jelawung melancub ring raganta, sakwehing wisya, upas, lebur den nia.
  1. Yan kerasa makleteg tanpa sangkan, ika cihna nia I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan melancub ring raganta, sakwehing wisya pada ilang den nia.
  1. Yan kerasa teteh mangrawos, ika cihna nia I Ratu Ketut Petung melancub ring raganta, sakeluiring satru pada asih den nia, muang sanak raman nia, mangkana kramania sowang – sowang aywa lupa, ingeta akna.
Readmore...

Ramalan Sabdo Palon Noyo Genggong

1 komentar
 

Sabdo Palon Noyo Genggong
(lima abad sudah Buddha Dharma kembali ditanah Jawa)



 (relief Sabdo Palon dan Noyo Genggong pada candi sukuh)

1. Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong.


2. Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: “Sabda Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik.”
(Sabdo Palon versi Jawa yaitu Semar)

3. Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.

4. Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi, saya sebar seluruh tanah Jawa.
(Sabdo Palon Versi Bali Yaitu Tualen/Malen)

5. Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.

6. Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah 
pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.

7. Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.

8. Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.

9. Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.

10. Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayupun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tapi siang hari banyak begal.

11. Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia.

12. Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat persis lautan pasang.

13. Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan gemuruh suaranya.

14. Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.

15. Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.

16. Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang sebentar tidak tampak lagi diriya. Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.

Readmore...
/*