Om Awignamastu Namasidham
“Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sastra rahasia yang sebelumnya hanya Bethara Guru yang tau yaitu Puncak Ilmu manunggalin Kesejatian. Dalam bahasa Jawa Kuno “Serat Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik, menetralisir kearah lebih baik. Diyu = raksasa atau lambang keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra Hayuningrat adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan sempurna.
Dalam Budaya Jawa Kuno yang dipengaruhi oleh Buddha Vajrayana ada sebuah konsep yang disebut dengan Boddhicitta terdiri dari dua kata Buddhi dan Citta
yang bermakna pikiran Buddha atau Pikiran yang tersadarkan. Ajaran ini diciptakan oleh Yang Mulia Bhiksu Dharmakirti seorang Mahawiku pada jaman kerajaan Sriwijaya. Ajaran ini dengan jelas berkembang di Tibet sampai saat ini dengan bentuk masih berupa ajaran Buddha Vajrayana saat ini dibawa oleh Y.M Athisa Dhipankara ke Tibet.
Jejak Boddhicitta di Nusantara berkembang dalam ajaran yang telah masuk dan berbias dalam Budayanya. Konsep Meruwat atau Nyomya di Bali adalah salah satu konsep dari ajaran ini, dalam Tantra unsur jahat bukanlah dilawan atau dimusuhi seperti ajaran lainnya. sifat Asura akan selalu ada, atau di Bali dikenal dengan istilah RwaBhineda atau Yinyang dalam masyarakat cina. Unsur gelap adalah ada untuk menunjukkan sisi terang, bukan musuh dari terang. Racun ada untuk menunjukkan obat itu berguna dan dibutuhkan,.
Meruwat didalam kebudayaan jawa adalah merubah sifat Jahat dan membuatnya menjadi baik, seperti dalam cerita Sudamala dimana Sahadewa meruwat Bethari Durga untuk kembali menjadi Uma, bukan membunuh atau memusuhi. Begitu juga di Bali dalam cerita Sapuleger bagaimana meruwat Bathara Kala dari Butha menjadi Bethara agar beliau tidak mengganggu dan memakan anak yang lahir pada wuku wayang dalam kalender jawa-bali. Begitu juga dengan cerita Sutasoma yang mampu menyadarkan para binatang dan Raksasa dengan Boddhicitta.
Dalam budaya masyarakat bali ada istilah Mulat sarira, yaitu mengolah diri agar mampu melepas sifat-sifat kita yang asura menjadi sifat dewa. dan segala upacara Butha Yadnya bertujuan untuk menyomya atau meruwat Butha dan menetralisir agar kembali kealam masing-masing sehingga alam kembali seimbang.
Asal-usul Sastra Jendra dan Filosofinya
Asal mula Sastra Jendra sampai saat ini masih rancu, ada yang mengatakan memang sudah terdapat dalam cerita pewayangan ataupun mengacu pada dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom:
"sasta jendra, sastra jendra yu Ninggrat pangruwating barang sakalir, ingkang kawrub tan wonten malib, wus kawengku sastradi, pungkas-pungkasaning kawrub, ditya diyu raksesa, myang sato siningwanadri, lamun werub artine sastra jendra" (Arjuna Wijaya, pupuh sinom, hal 26)
Ajaran “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” dalam cerita pewayangan mengambil akon cerita lahirnya Dasamuka atau Rahwana, yang kelak menjadi musuhnya Rama dalam wiracarita Ramayana. Didalam cerita Ramayana versi Jawa maupun Bali memiliki cerita yang sama tentang asal-usul Rahwana namun berbeda dengan Cerita Ramayana versi Walmiki india.
Adapun Alkisah Begawan Wisrawa mempunyai seorang anak bernama Prabu Danaraja, yang ingin mengawini seorang istri bernama Dewi Sukesi yang syaratnya sangat berat, yakni bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti dan bisa menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”.
Prabu Danaraja tidak dapat melaksanakan maka minta bantuan ayahandanya, Begawan Wisrawa yang ternyata dapat memenuhi dua syarat tersebut. Maka Dewi Sukesi dapat diboyong Begawan Wisrawa, untuk diserahkan kepada anaknya Prabu Danaraja.
Sementara itu di kahyangan Suralaya, Jonggring Salaka. Sanghyang Jagatnata (Batara Guru) sangat gelisah. Ia sangat merisaukan permintaan Dewi Sukesi yang ingin mengetahui serat ilmu Sastra Jendra. Dan yang lebih membuat hatinya risau bercampur marah adalah Begawan Wisrawa kini sedang mencoba menjabarkan ilmu tersebut. Jagatnata tidak ingin siapapun, mahluk apapun di jagat raya ini mengetahui risalah Sastra Jendrahayuningrat. Sebab, bila semua itu terjadi, apalagi manusia atau mahluk di jagat pramuditya ini menjalankan makna yang terkandung dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, maka tidak akan ada lagi bangsa manusia, jin dan raksasa yang memuja para dewa. Suralaya akan terguncang, hancur luluh. Untuk itu Sanghyang Jagatnata bermaksud ingin menggagalkan tujuan Begawan Wisrawa.
Bersama Dewi Uma, Sanghyang Jagatnata turun ke mayapada menuju Alengkadirja. Dalam pesanggrahan yang hanya diterangi oleh titik cahaya, dua insan berbeda jenis saling berhadapan. Begawan Wisrawa memulai wejangannya membuka risalah-risalah ilmu agung kepada Dewi Sukesi. Dilain pihak, tanpa diketahui oleh kedua insan ini, dua titik cahaya yang mempunyai maksud tersembunyi menyeruak masuk ke dalam pesanggrahan. Dua titik itu terus menerobos masuk dan meraga sukma ke dalam jasad Begawan Wisrawa dan Sukesi. Dua titik cahaya tadi tidak lain adalah Sanghyang Jagatnata yang merasuk ke dalam tubuh resi Wisrawa, dan titik satunya adalah Dewi Uma yang juga telah merasuk ke dalam jasad Dewi Sukesi.
Jauh di dalam jasad, di alam yang tidak terlihat oleh kasat mata. Dua mahluk berupaya merusak nafsu yang menjadi dasar kodrat kemanusiaan. Dewi Uma yang mempengaruhi nafsu-nafsu Dewi Sukesi, dan Sanghyang Jagatnata yang mempengaruhi nafsu-nafsu Begawan Wisrawa. Keduanya menggoda dengan sangat kuat. Godaan demi godaan kian membakar diantara kedua insan. Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi tidak lagi mampu menahan godaan. Tepat sebelum Wisrawa mampu menjabarkan keseluruhan serat Sastra Jendra, keduanya terjerumus dalam kubang kenistaan. Jebolah dinding pertahanan Wisrawa dan Sukesi hingga keduanya larut dalam cumbuan birahi yang membutakan mereka. Tidak ada lagi penyesalan diantara keduanya pada saat itu. Hubungan tersebut terjalin berlarut-larut hingga Dewi Sukesi membuahkan kandungan. Wisrawa lupa bahwa ia pada hakikatnya hanya berfungsi sebagai wakil anaknya untuk memenuhi syarat yang diinginkan Dewi Sukesi.
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu gagal diselesaikan. Akibat dari dosa-dosanya maka mengandunglah Dewi Sukesi, mengetahui hal ini marahlah Prabu Danaraja yang mengetahui ayahnya telah berbuat melanggar sila sebagai seorang Begawan, maka terbunuhlah Begawan Wisrawa oleh Putranya sendiri dan Dewi Sukesi yang sedang mengandung lari kehutan menyelamatkan diri, ditengah hutan ini lahirlah bayi dalam kandungan dewi sukesi yaitu Rahwana (Raksasa merah yang berarti darah hutan), Kumbakarna (Raksasa Telinga lebar), Surpanaka (Raksasi perempuan) dan terakhir Gunawan Wibisana (manusia tampan).
Ilmu Sastra Jendra ini sangatlah rahasia karena akan mampu meruwat manusia, Butha dan mahluk lainnya menjadi dewa bahkan lebih tinggi sehingga para dewa pun tidak berkenan jika manusia sembarangan menjabarkan dan menurunkan ilmu ini. Dunia wayang merupakan bayangan dari dunia manusia sendiri dimana manusia adalah wayangnya dan dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Bila seseorang mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” berarti harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan haruslah dapat menguraikan tentang sejatining urip (kesempurnaan hidup), sejatining Panembah Bhakti yang sempurna, sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga ilmu untuk kembali ke sisi Tuhan YME. Menetralisir yang negatif agar kembali menjadi positif sampai akhirnya manunggal dengan tata cara hidup layak untuk mencapai budi suci.
Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah dalam cerita Sudamala Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan, dimana Betari Durga Kembali ke Khayangan menjadi Dewi Uma berkat diruwat oleh Sahadewa (pendawa paling bungsu).
Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur (Dewa ya manusia ya Butha ya). Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya kerohanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan.
Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Begawan Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu. Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan anugrah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu.Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.
Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Begawan Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua” Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.
Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.
“ Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”
Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.
Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.
Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut meandatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya. Namun semakin besar kekuatan yang diberikan ke kita semakin besar pula tanggung jawab kita, karena diakhir cerita Bagawan wisrawa melakukan kesalahan karena Ilmu tersebut tidaklah boleh sembarangan diberikan.
Readmore...
“Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sastra rahasia yang sebelumnya hanya Bethara Guru yang tau yaitu Puncak Ilmu manunggalin Kesejatian. Dalam bahasa Jawa Kuno “Serat Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik, menetralisir kearah lebih baik. Diyu = raksasa atau lambang keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra Hayuningrat adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan sempurna.
Dalam Budaya Jawa Kuno yang dipengaruhi oleh Buddha Vajrayana ada sebuah konsep yang disebut dengan Boddhicitta terdiri dari dua kata Buddhi dan Citta
yang bermakna pikiran Buddha atau Pikiran yang tersadarkan. Ajaran ini diciptakan oleh Yang Mulia Bhiksu Dharmakirti seorang Mahawiku pada jaman kerajaan Sriwijaya. Ajaran ini dengan jelas berkembang di Tibet sampai saat ini dengan bentuk masih berupa ajaran Buddha Vajrayana saat ini dibawa oleh Y.M Athisa Dhipankara ke Tibet.
Jejak Boddhicitta di Nusantara berkembang dalam ajaran yang telah masuk dan berbias dalam Budayanya. Konsep Meruwat atau Nyomya di Bali adalah salah satu konsep dari ajaran ini, dalam Tantra unsur jahat bukanlah dilawan atau dimusuhi seperti ajaran lainnya. sifat Asura akan selalu ada, atau di Bali dikenal dengan istilah RwaBhineda atau Yinyang dalam masyarakat cina. Unsur gelap adalah ada untuk menunjukkan sisi terang, bukan musuh dari terang. Racun ada untuk menunjukkan obat itu berguna dan dibutuhkan,.
Meruwat didalam kebudayaan jawa adalah merubah sifat Jahat dan membuatnya menjadi baik, seperti dalam cerita Sudamala dimana Sahadewa meruwat Bethari Durga untuk kembali menjadi Uma, bukan membunuh atau memusuhi. Begitu juga di Bali dalam cerita Sapuleger bagaimana meruwat Bathara Kala dari Butha menjadi Bethara agar beliau tidak mengganggu dan memakan anak yang lahir pada wuku wayang dalam kalender jawa-bali. Begitu juga dengan cerita Sutasoma yang mampu menyadarkan para binatang dan Raksasa dengan Boddhicitta.
Dalam budaya masyarakat bali ada istilah Mulat sarira, yaitu mengolah diri agar mampu melepas sifat-sifat kita yang asura menjadi sifat dewa. dan segala upacara Butha Yadnya bertujuan untuk menyomya atau meruwat Butha dan menetralisir agar kembali kealam masing-masing sehingga alam kembali seimbang.
Asal-usul Sastra Jendra dan Filosofinya
Asal mula Sastra Jendra sampai saat ini masih rancu, ada yang mengatakan memang sudah terdapat dalam cerita pewayangan ataupun mengacu pada dalam lakon Arjuno Sastra atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom:
"sasta jendra, sastra jendra yu Ninggrat pangruwating barang sakalir, ingkang kawrub tan wonten malib, wus kawengku sastradi, pungkas-pungkasaning kawrub, ditya diyu raksesa, myang sato siningwanadri, lamun werub artine sastra jendra" (Arjuna Wijaya, pupuh sinom, hal 26)
Ajaran “Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” dalam cerita pewayangan mengambil akon cerita lahirnya Dasamuka atau Rahwana, yang kelak menjadi musuhnya Rama dalam wiracarita Ramayana. Didalam cerita Ramayana versi Jawa maupun Bali memiliki cerita yang sama tentang asal-usul Rahwana namun berbeda dengan Cerita Ramayana versi Walmiki india.
Adapun Alkisah Begawan Wisrawa mempunyai seorang anak bernama Prabu Danaraja, yang ingin mengawini seorang istri bernama Dewi Sukesi yang syaratnya sangat berat, yakni bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti dan bisa menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”.
Prabu Danaraja tidak dapat melaksanakan maka minta bantuan ayahandanya, Begawan Wisrawa yang ternyata dapat memenuhi dua syarat tersebut. Maka Dewi Sukesi dapat diboyong Begawan Wisrawa, untuk diserahkan kepada anaknya Prabu Danaraja.
Sementara itu di kahyangan Suralaya, Jonggring Salaka. Sanghyang Jagatnata (Batara Guru) sangat gelisah. Ia sangat merisaukan permintaan Dewi Sukesi yang ingin mengetahui serat ilmu Sastra Jendra. Dan yang lebih membuat hatinya risau bercampur marah adalah Begawan Wisrawa kini sedang mencoba menjabarkan ilmu tersebut. Jagatnata tidak ingin siapapun, mahluk apapun di jagat raya ini mengetahui risalah Sastra Jendrahayuningrat. Sebab, bila semua itu terjadi, apalagi manusia atau mahluk di jagat pramuditya ini menjalankan makna yang terkandung dalam Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, maka tidak akan ada lagi bangsa manusia, jin dan raksasa yang memuja para dewa. Suralaya akan terguncang, hancur luluh. Untuk itu Sanghyang Jagatnata bermaksud ingin menggagalkan tujuan Begawan Wisrawa.
Bersama Dewi Uma, Sanghyang Jagatnata turun ke mayapada menuju Alengkadirja. Dalam pesanggrahan yang hanya diterangi oleh titik cahaya, dua insan berbeda jenis saling berhadapan. Begawan Wisrawa memulai wejangannya membuka risalah-risalah ilmu agung kepada Dewi Sukesi. Dilain pihak, tanpa diketahui oleh kedua insan ini, dua titik cahaya yang mempunyai maksud tersembunyi menyeruak masuk ke dalam pesanggrahan. Dua titik itu terus menerobos masuk dan meraga sukma ke dalam jasad Begawan Wisrawa dan Sukesi. Dua titik cahaya tadi tidak lain adalah Sanghyang Jagatnata yang merasuk ke dalam tubuh resi Wisrawa, dan titik satunya adalah Dewi Uma yang juga telah merasuk ke dalam jasad Dewi Sukesi.
Jauh di dalam jasad, di alam yang tidak terlihat oleh kasat mata. Dua mahluk berupaya merusak nafsu yang menjadi dasar kodrat kemanusiaan. Dewi Uma yang mempengaruhi nafsu-nafsu Dewi Sukesi, dan Sanghyang Jagatnata yang mempengaruhi nafsu-nafsu Begawan Wisrawa. Keduanya menggoda dengan sangat kuat. Godaan demi godaan kian membakar diantara kedua insan. Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi tidak lagi mampu menahan godaan. Tepat sebelum Wisrawa mampu menjabarkan keseluruhan serat Sastra Jendra, keduanya terjerumus dalam kubang kenistaan. Jebolah dinding pertahanan Wisrawa dan Sukesi hingga keduanya larut dalam cumbuan birahi yang membutakan mereka. Tidak ada lagi penyesalan diantara keduanya pada saat itu. Hubungan tersebut terjalin berlarut-larut hingga Dewi Sukesi membuahkan kandungan. Wisrawa lupa bahwa ia pada hakikatnya hanya berfungsi sebagai wakil anaknya untuk memenuhi syarat yang diinginkan Dewi Sukesi.
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu gagal diselesaikan. Akibat dari dosa-dosanya maka mengandunglah Dewi Sukesi, mengetahui hal ini marahlah Prabu Danaraja yang mengetahui ayahnya telah berbuat melanggar sila sebagai seorang Begawan, maka terbunuhlah Begawan Wisrawa oleh Putranya sendiri dan Dewi Sukesi yang sedang mengandung lari kehutan menyelamatkan diri, ditengah hutan ini lahirlah bayi dalam kandungan dewi sukesi yaitu Rahwana (Raksasa merah yang berarti darah hutan), Kumbakarna (Raksasa Telinga lebar), Surpanaka (Raksasi perempuan) dan terakhir Gunawan Wibisana (manusia tampan).
Ilmu Sastra Jendra ini sangatlah rahasia karena akan mampu meruwat manusia, Butha dan mahluk lainnya menjadi dewa bahkan lebih tinggi sehingga para dewa pun tidak berkenan jika manusia sembarangan menjabarkan dan menurunkan ilmu ini. Dunia wayang merupakan bayangan dari dunia manusia sendiri dimana manusia adalah wayangnya dan dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Bila seseorang mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” berarti harus pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan haruslah dapat menguraikan tentang sejatining urip (kesempurnaan hidup), sejatining Panembah Bhakti yang sempurna, sampurnaning pati (kesempurnaan dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga ilmu untuk kembali ke sisi Tuhan YME. Menetralisir yang negatif agar kembali menjadi positif sampai akhirnya manunggal dengan tata cara hidup layak untuk mencapai budi suci.
Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah dalam cerita Sudamala Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan, dimana Betari Durga Kembali ke Khayangan menjadi Dewi Uma berkat diruwat oleh Sahadewa (pendawa paling bungsu).
Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur (Dewa ya manusia ya Butha ya). Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya kerohanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan.
Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Begawan Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu. Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan anugrah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu.Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.
Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. “Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Begawan Wisrawa “. Serentak para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua” Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.
Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.
“ Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia”
Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini “.
Betara Narada mengatakan “ Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.
Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut meandatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya. Namun semakin besar kekuatan yang diberikan ke kita semakin besar pula tanggung jawab kita, karena diakhir cerita Bagawan wisrawa melakukan kesalahan karena Ilmu tersebut tidaklah boleh sembarangan diberikan.