MEMBERI DAN MEMBALAS BUDHI
Om awignamastu nama siddham
Om Siwa Buddhaya
Om namo panca tathagata ya
Om Namo arya avalokitesvara mahasattva maha karunaya
Om Ang Gni jaya ca Ang Gni wijaya jagat ca Um Manik Jatis ca Sumerus ca Ghanas ca De Kuturan Bharadah Ya namo svaha.
Sembah hatur ingulun ri pada nira bathara Hyang lamakane natan kakening sosot upadrawa kuasan sira paduka bathara.
Puja dan hormat kami terhadap SiwaBuddha Tuhan kami, kelima Buddha penguasa dan kepada yang mulia maha avalokitesvara mahluk yang maha pengasih.
Sembah kami kepada guru kerohanian kami dari garis siwabuddha dharma, Yang Maha Suci Gni Jaya di lempuyang agung, Yang Mulia Sapta Rsi Gni wijaya di lempuyang madya, Yang Maha Suci semeru di gunung mahameru, Yang Maha Suci Ghana di gelgel, Yang Maha suci kuturan di silayukti dan Yang Mulia Maha Suci Bharadah dijawa.
Semoga tidak terkena hukuman leluhur dan kutukan atas ijin dari Yang Maha Suci Guru kerohanian hamba.
Didalam keseharian terkadang kita selalu berharap untuk mendapatkan sesuatu, rejeki keberuntungan atau bonus dari pekerjaan kita. tapi pernahkah kita berpikir untuk memberi bahkan lebih dari hal yang kita miliki? keterikatan manusia akan materiil dijaman materialisme ini akan sangat sulit mencari lingkungan saling memberi atau berbalas memberi.
Dalam masyarakat SiwaBuddha di bali tradisi ngejot atau mengirim makanan ketika ada upacara merupakan kebiasaan, dan hal ini ada jauh sebelum hindu buddha masuk. hal ini masih kita jumpai dibeberapa tradisi suku lain diindonesia. tetapi hal itu sekarang mulai tergerus karena jaman yang mulai modern bahkan di bali sekalipun.
Dahulu ketika kita akan mempunyai acara atau hajatan semua dilakukan dengan gotong royong tanpa pamrih, hal ini masih berlaku dalam masyarakat bali. walaupun terkadang dituduh tidak efektif bagi kaum modern kebarat-baratan. budaya adat gotong royong dan ngayah dianggap memberatkan dengan tradisi kapitalis dimana waktu adalah uang. semua ayahan bisa ditukar dengan uang, kebersamaan mulai ditinggalkan seakan materiil diatas segalanya.
Berterima kasih karena berhutang
Seorang Buddha berterima kasih kepada pohon Bodhi yang telah melindunginya saat beliau bermeditasi mencapai Penerangan Sempurna. Kehidupan di dunia ini pada hakikatnya mempunyai ketergantungan dengan yang lain. Itulah sebabnya dari dulu para leluhur melakukan persembahan, melakukan yadnya dan saling menolong satu sama lain tanpa pamrih atau pengharapan balas jasa. Mereka selalu mengingat hutang mereka dan berusaha untuk selalu membalas budhi bukan sebaliknya mereka tidak pernah mengingat pemberian dan persembahan yang telah mereka lakukan.
Dalam tradisi Siwabuddha, manusia meyakini memiliki Tiga macam hutang atau Tri Rna:
1. Deva Rna, hutang terhadap Dewa. Yang dimaksud adalah hutang terhadap kemuliaan, kesadaran, pencerahan karena kata dewa berasal dari Divya, yang berarti yang mulia, yang terang, yang berasal dari cahaya.
2. Pitra Rna, hutang terhadap leluhur, atau barangkali lebih tepat hutang terhadap keluarga. Karena keluarga adalah kontinuitas dari leluhur dan leluhur adalah keluarga.
3. Rshi Rna, hutang terhadap para bijak, atau terhadap kebijaksanaan itu sendiri.
Dan ketiga hutang ini mereka berbalas dengan melakukan Yadnya yang disebut sebagai Panca Yadnya:
1. Dewa Yadnya, melaksanakan persembahan kepada Tuhan ( Sang Hyang Tunggal), para Dewa dan mahluk suci.
2. Pitra Yadnya, melakukan penghormatan pada leluhur dan menjaga nama baik keluarga, melakukan upacara pada leluhur dan menghormati orang tua.
3. Rsi Yadnya, memberikan penghidupan pada orang suci dan menghormati para Guru dharman dan dharma itu sendiri.
4. Manusia Yadnya, membantu sesama manusia, saling mengasihi dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
5. Bhuta Yadnya, menjaga keharmonisan lingkungan. Jauh sebelum ilmuwan modern mulai memperhatikan lingkungan, flora dan fauna, jauh sebelum mereka mencetak istilah baru eco system, para bijak sudah memaparkan, menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungannya.
Membalas pemberian dengan apa yang dipunyai
Aththar an Nisaburi, salah seorang sufi bercerita sebagai berikut. Ketika Gusti Yesus pada suatu hari berjalan melintasi kota, beberapa orang Israel mencaci-makiNya. Merespon hal tersebut, Gusti Yesus menjawab dengan mengulang doa atas nama mereka. Seseorang berkomentar : ”Engkau berdoa untuk orang-orang ini, tidakkah Engkau merasa marah kepada mereka?” Gusti Yesus menanggapi : “Aku hanya dapat membelanjakan apa yang ada dalam dompetku.” Seseorang yang hatinya penuh kasih, yang diungkapkan pun hanya kasih, karena di dalam dirinya yang ada hanya kasih.
Apapun yang diterima diri manusia, baik makanan, maupun semua kejadian, alangkah baiknya kalau didaur-ulang dengan kasih. Apapun yang dipikirkan, diucapkan dan diperbuatnya, alangkah mulianya bila dijiwai oleh kasih. Semua ingatan perlu didaur ulang, sehingga yang tertinggal dalam ingatan hanyalah tentang kasih. Kasih yang tulus tanpa pamrih, terlepas dari penilaian baik dan buruk, dari dualitas. Apa pun yang diterima dibalas dengan kasih. Ungkapan terima kasih para leluhur kita mempunyai kesamaan dengan peristiwa di atas.
Guru Atisha berguru kepada Guru Dharmakirti Svarnadvipi
Ungkapan Terima Kasih produk asli Nusantara
Lebih dari 800 tahun telah berlalu ketika Guru Atisha bepergian ke Sumatra yang pada waktu itu dikenal dengan nama Svarna Dvipa, belajar kepada Guru Dharmakirti Svarnadvipi. Guru Atisha menghabiskan waktu lebih dari 10 tahun untuk belajar dan mendokumentasikan tiap kata yang didengar dan tiap ilmu yang diajarkan oleh Guru Dharmakirti Svarnadvipi.
Salah satu ilmu yang dipelajari dari Nusantara dan disebarkan di India dan Tibet oleh Guru Atisha adalah Meditasi Tong-Len, Menerima dan Memberi, Terima Kasih. Guru Atisha membicarakan prinsip give and take. Hanya saja give and take Guru Atisha berbeda dengan kebanyakan orang. Seseorang pada umumnya selalu ingin menerima yang terbaik, dan memberi yang kurang baik. Guru Atisha kebalikannya, memberikan yang terbaik, menerima yang terjelek. Yang terjelek pun harus di olah, di daur-ulang dan dijadikan baik kembali. Ilmu yang telah lama dilupakan di Nusantara, karena warga Nusantara akhir-akhir ini hanya mempunyai “short memory”, amnesia.
Teknik ini sekarang digunakan para neurologist Barat sebagai bagian dari Transcranial Magnetic Stimulation Therapy, untuk menyembuhkan beberapa penderita stroke.(anand krishna)
Beberapa butir Ajaran Guru Atisha
Beberapa butir ajaran Guru Atisha dari buku Seni Memberdaya Diri 3 Atisha karya Bapak Anand Krishna yang berhubungan dengan terima kasih:
Jangan mulai dari orang lain. Mulailah dari diri sendiri dulu. Sadarilah akan kekotoran diri. Terlebih dahulu, urusi diri dahulu. Tong berarti memberi. Berikan kasih, sebarkan kasih. Len berarti menerima. Terimalah kebencian, ambillah kebencian
Guru Atisha tidak menyangkal adanya kejahatan. Guru Atisha juga tidak mengatakan bahwa kejahatan dapat dihindari. Guru Atisha seorang ahli kimia rohani. Berikan kebencian, dan akan diolahnya menjadi kasih. Berikan kemunafikan dan ia akan mengolahnya menjadi kejujuran, ketulusan. Apabila kejahatan menimpa dunia ini, manusia perlu mengubah keadaan yang tidak menguntungkan menjadi sarana demi terjadinya peningkatan kesadaran.
Kembangkan rasa syukur. Ada yang menghujat, yang mencaci maki – balas dengan ucapan Terima Kasih. Selesai sudah masalahnya. Lagi pula, setiap kali mengucapkan terima kasih, sesungguhnya seseorang melepaskan mind-nya. Mind tidak pernah berterima kasih. Mind selalu melakukan perhitungan. Mind selalu menghitung laba rugi. Bersyukur adalah rasa bukan mind.
Apabila masih menghitung laba-rugi, apabila masih mempertanyakan tujuan, sesungguhnya seseorang belum ingin mempertahankan Kasunyatan. Burung-burung berkicau tanpa tujuan. Kembang-kembang mekar tanpa tujuan. Sungai-sungai yang mengalirpun tidak bertujuan. Mind-lah yang selalu mengejar tujuan.
Pertemuan dengan Guru Dharmakirti dalam diri
Berikut ini cuplikan dari Buku Seni Memberdaya Diri 3 Atisha, karya Bapak Anand Krishna……
Guru Dharmakirti dalam diri manusia Indonesia sudah tidak tahan menyaksikan ketidakwarasan kita. Ia sudah muncul kembali, Ia tidak akan kemana-mana lagi. He has come to stay. Ajarannya tentang Kesadaran Murni akan melanda Persada Nusantara.
Apa pun agama yang dianut, perlu diwarnai keyakinan, kepercayaan dengan penuh kesadaran. Guru Dharmakirti tidak mewakili salah satu agama. Ia mewakili kemanusiaan. Ia mewakili keberadaan. Ia mewakili keindahan. Jika seseorang masih tetap alergi terhadap dia, apa boleh buat? Boleh-boleh saja seseorang menolak dia, sebagaimana seorang buta menolak keberadaan matahari. Penolakan tersebut sangat tidak berarti. Cahaya matahari Guru Dharmakirti sudah mulai menerangi sebagian bangsa kita. Dan ia akan melanjutkan tugasnya – tugas menerangi bangsa ini secara keseluruhan.
Pertemuan dengan seorang Guru Atisha, dengan seorang Guru Dharmakirti, bukanlah suatu kebetulan. Mereka tidak bisa ditemui secara kebetulan. Karma seseorang mempertemukan dengan mereka. Perbuatan dan tindakan seseorang selama sekian banyak masa kehidupan berbuah dan menghadirkan seorang Guru Atisha, seorang Guru Dharmakirti dalam hidup seseorang.
Lalu apa yang harus dilakukan? Menyia-nyiakan kesempatan itu, tidak sungguh-sungguh menerimanya, atau mengundangnya untuk bermukim di dalam jiwa? Yang telah dibuka bukanlah pintu hati, tetapi hanya jendela pikiran. Sebagaimana telah disia-siakan sebelum ini, masa kehidupan sebelum ini pun berlalu begitu saja, tanpa terjadinya peningkatan kesadaran sama sekali. Menerima Guru Dharmakirti, menerima Guru Atisha, berarti menerima kritik dan ujian, hujatan, cacian dan makian. Kalau belum bisa menerimanya, tunggu dulu! Seorang Guru Dharmakirti, seorang Guru Atisha akan mengeruhkan suasana sedemikian rupa, sehingga seseorang akan menerima semua itu.
itulah yang menjadi jawaban atas karakter orang bali penganut SiwaBuddha, ajaran Maha Guru Dharmakirti terealisasi dalam kehidupan keseharian orang bali. Bukan karena pengecut atau takut, dua kali bali di BOM dan dilukai hatinya tapi orang bali sedikin pun tidak terprovokasi ataupun terpancing untuk membalas atau menyalahkan salah satu agama ( dimana pelaku dengan tanpa bersalah mengaku menjalankan ajaran agamanya). seperti pepatah tetua mereka: "jika engkau dilempar dengan kotoran balaslah dengan bunga". Selalu balas segala sesuatu dengan kebajikan. karena setiap mereka keluar dari pura atau tempat suci kata Shantilah yang diucapkan tiga kali, sehingga dihati orang bali selalu tertanan kata shanti yang berarti damai. kedamian dihatilah inti dari bodhicitta.
Sarvam Sattvam Sukkham Bavanthu
Om Shanti Shanti Shanti Om