Om Awignamastu Namasidham
“Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sastra rahasia yang sebelumnya hanya Bethara Guru yang tau yaitu Puncak Ilmu manunggalin Kesejatian. Dalam bahasa Jawa Kuno “Serat Sastra Jendra hayuningrat Pangruwating Diyu” adalah sebagai berikut; Serat = ajaran,
Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating
= Memuliakan atau merubah menjadi baik, menetralisir kearah lebih baik. Diyu = raksasa atau lambang
keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus
dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya
dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan
menjadi kebaikan.Pengertiannya; bahwa Serat Sastrajendra Hayuningrat
adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia
untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan sempurna.
Dalam Budaya Jawa Kuno yang dipengaruhi oleh Buddha Vajrayana ada sebuah konsep yang disebut dengan Boddhicitta terdiri dari dua kata Buddhi dan Citta
yang bermakna pikiran Buddha atau Pikiran yang tersadarkan. Ajaran ini diciptakan oleh Yang Mulia Bhiksu Dharmakirti seorang Mahawiku pada jaman kerajaan Sriwijaya. Ajaran ini dengan jelas berkembang di Tibet sampai saat ini dengan bentuk masih berupa ajaran Buddha Vajrayana saat ini dibawa oleh Y.M Athisa Dhipankara ke Tibet.
Jejak Boddhicitta di Nusantara berkembang dalam ajaran yang telah masuk dan berbias dalam Budayanya. Konsep Meruwat atau Nyomya di Bali adalah salah satu konsep dari ajaran ini, dalam Tantra unsur jahat bukanlah dilawan atau dimusuhi seperti ajaran lainnya. sifat Asura akan selalu ada, atau di Bali dikenal dengan istilah RwaBhineda atau Yinyang dalam masyarakat cina. Unsur gelap adalah ada untuk menunjukkan sisi terang, bukan musuh dari terang. Racun ada untuk menunjukkan obat itu berguna dan dibutuhkan,.
Meruwat didalam kebudayaan jawa adalah merubah sifat Jahat dan membuatnya menjadi baik, seperti dalam cerita Sudamala dimana Sahadewa meruwat Bethari Durga untuk kembali menjadi Uma, bukan membunuh atau memusuhi. Begitu juga di Bali dalam cerita Sapuleger bagaimana meruwat Bathara Kala dari Butha menjadi Bethara agar beliau tidak mengganggu dan memakan anak yang lahir pada wuku wayang dalam kalender jawa-bali. Begitu juga dengan cerita Sutasoma yang mampu menyadarkan para binatang dan Raksasa dengan Boddhicitta.
Dalam budaya masyarakat bali ada istilah Mulat sarira, yaitu mengolah diri agar mampu melepas sifat-sifat kita yang asura menjadi sifat dewa. dan segala upacara Butha Yadnya bertujuan untuk menyomya atau meruwat Butha dan menetralisir agar kembali kealam masing-masing sehingga alam kembali seimbang.
Asal-usul Sastra Jendra dan Filosofinya
Asal mula Sastra Jendra sampai saat ini masih rancu, ada yang mengatakan memang sudah terdapat dalam cerita pewayangan ataupun mengacu pada dalam lakon Arjuno Sastra
atau Lokapala. Kutipan diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom:
"sasta jendra, sastra jendra yu Ninggrat pangruwating barang sakalir, ingkang kawrub tan wonten malib, wus kawengku sastradi, pungkas-pungkasaning kawrub, ditya diyu raksesa, myang sato siningwanadri, lamun werub artine sastra jendra" (Arjuna Wijaya, pupuh sinom, hal 26)
Ajaran “Sastra Jendra hayuningrat
Pangruwating Diyu” dalam cerita pewayangan mengambil akon cerita lahirnya Dasamuka atau Rahwana, yang kelak menjadi musuhnya Rama dalam wiracarita Ramayana. Didalam cerita Ramayana versi Jawa maupun Bali memiliki cerita yang sama tentang asal-usul Rahwana namun berbeda dengan Cerita Ramayana versi Walmiki india.
Adapun Alkisah Begawan Wisrawa
mempunyai seorang anak bernama Prabu Danaraja, yang ingin mengawini
seorang istri bernama Dewi Sukesi yang syaratnya sangat berat, yakni bisa mengalahkan paman Dewi Sukesi, yaitu Jambu Mangli, seorang raksasa yang sangat sakti dan bisa menjabarkan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu”.
Prabu
Danaraja tidak dapat melaksanakan maka minta bantuan ayahandanya,
Begawan Wisrawa yang ternyata dapat memenuhi dua syarat tersebut. Maka
Dewi Sukesi dapat diboyong Begawan Wisrawa, untuk diserahkan kepada
anaknya Prabu Danaraja.
Sementara itu di kahyangan Suralaya, Jonggring Salaka. Sanghyang
Jagatnata (Batara Guru) sangat gelisah. Ia sangat merisaukan permintaan
Dewi Sukesi yang ingin mengetahui serat ilmu Sastra Jendra. Dan yang
lebih membuat hatinya risau bercampur marah adalah Begawan Wisrawa kini sedang
mencoba menjabarkan ilmu tersebut. Jagatnata tidak ingin siapapun,
mahluk apapun di jagat raya ini mengetahui risalah Sastra
Jendrahayuningrat. Sebab, bila semua itu terjadi, apalagi manusia atau
mahluk di jagat pramuditya ini menjalankan makna yang terkandung dalam
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, maka tidak akan ada lagi
bangsa manusia, jin dan raksasa yang memuja para dewa. Suralaya akan
terguncang, hancur luluh. Untuk itu Sanghyang Jagatnata bermaksud ingin
menggagalkan tujuan Begawan Wisrawa.
Bersama Dewi Uma, Sanghyang Jagatnata
turun ke mayapada menuju Alengkadirja. Dalam
pesanggrahan yang hanya diterangi oleh titik cahaya, dua insan berbeda
jenis saling berhadapan. Begawan Wisrawa memulai wejangannya membuka
risalah-risalah ilmu agung kepada Dewi Sukesi. Dilain pihak, tanpa
diketahui oleh kedua insan ini, dua titik cahaya yang mempunyai maksud
tersembunyi menyeruak masuk ke dalam pesanggrahan. Dua titik itu terus
menerobos masuk dan meraga sukma ke dalam jasad Begawan Wisrawa dan Sukesi. Dua
titik cahaya tadi tidak lain adalah Sanghyang Jagatnata yang merasuk
ke dalam tubuh resi Wisrawa, dan titik satunya adalah Dewi Uma yang
juga telah merasuk ke dalam jasad Dewi Sukesi.
Jauh di dalam
jasad, di alam yang tidak terlihat oleh kasat mata. Dua mahluk berupaya
merusak nafsu yang menjadi dasar kodrat kemanusiaan. Dewi Uma yang
mempengaruhi nafsu-nafsu Dewi Sukesi, dan Sanghyang Jagatnata yang
mempengaruhi nafsu-nafsu Begawan Wisrawa. Keduanya menggoda dengan sangat kuat.
Godaan demi godaan kian membakar diantara kedua insan. Begawan Wisrawa dan
Dewi Sukesi tidak lagi mampu menahan godaan. Tepat sebelum Wisrawa mampu
menjabarkan keseluruhan serat Sastra Jendra, keduanya terjerumus dalam
kubang kenistaan. Jebolah dinding pertahanan Wisrawa dan Sukesi hingga
keduanya larut dalam cumbuan birahi yang membutakan mereka. Tidak ada
lagi penyesalan diantara keduanya pada saat itu. Hubungan tersebut
terjalin berlarut-larut hingga Dewi Sukesi membuahkan kandungan.
Wisrawa lupa bahwa ia pada hakikatnya hanya berfungsi sebagai wakil
anaknya untuk memenuhi syarat yang diinginkan Dewi Sukesi.
Sastra
Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu gagal diselesaikan. Akibat dari
dosa-dosanya maka mengandunglah Dewi Sukesi, mengetahui hal ini marahlah Prabu Danaraja yang mengetahui ayahnya telah berbuat melanggar sila sebagai seorang Begawan, maka terbunuhlah Begawan Wisrawa oleh Putranya sendiri dan Dewi Sukesi yang sedang mengandung lari kehutan menyelamatkan diri, ditengah hutan ini lahirlah bayi dalam kandungan dewi sukesi yaitu Rahwana (Raksasa merah yang berarti darah hutan), Kumbakarna (Raksasa Telinga lebar), Surpanaka (Raksasi perempuan) dan terakhir Gunawan Wibisana (manusia tampan).
Ilmu Sastra Jendra ini sangatlah rahasia karena akan mampu meruwat manusia, Butha dan mahluk lainnya menjadi dewa bahkan lebih tinggi sehingga para dewa pun tidak berkenan jika manusia sembarangan menjabarkan dan menurunkan ilmu ini. Dunia wayang merupakan bayangan dari dunia manusia sendiri dimana manusia adalah wayangnya dan dunia merupakan panggungnya, layar
yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Bila seseorang
mempelajari “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” berarti harus
pula mengenal asal usul manusia dan dunia seisinya, dan haruslah dapat
menguraikan tentang sejatining urip (kesempurnaan hidup), sejatining Panembah Bhakti yang sempurna, sampurnaning pati (kesempurnaan
dalam kematian), yang secara gamblang disebut juga ilmu untuk kembali ke sisi Tuhan YME. Menetralisir yang negatif agar kembali menjadi positif sampai akhirnya manunggal dengan tata cara hidup layak
untuk mencapai budi suci.
Gambaran
ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam
pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna
manusia. Misal kisah dalam cerita Sudamala Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh
Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi
Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan
Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara
Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma
kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan
di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan
Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki
taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan, dimana Betari Durga Kembali ke Khayangan menjadi Dewi Uma berkat diruwat oleh Sahadewa (pendawa paling bungsu).
Melalui ilmu
Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih
dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang
berbudi luhur (Dewa ya manusia ya Butha ya). Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi
dan daya kerohanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan.
Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada
Begawan Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai
dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat
Sastrajendrahayuningrat Diyu. Ketekunan, ketulusan dan kesabaran
Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan anugrah
untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa,
keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan
kegemaran berbagi ilmu.Kebiasaan ini membuat sang wiku
tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.
Sebelum
memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra,
para dewata bertanya pada sang Betara Guru. “ Duh, sang Betara agung,
siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya.
“Bethara guru menjawab “ Pilihanku adalah anak kita Begawan Wisrawa “. Serentak
para dewata bertanya “ Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi
bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya.
Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita
semua” Kemudian sebagian dewata berkata “ Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia “.
Seolah
menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun
mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa
bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Kemudian, Betara Guru turun ke
mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada
Begawan Wisrawa.
“ Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa
para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk
diajarkan kepada umat manusia”
Mendengar hal itu, menangislah Sang
Begawan “ Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan
lemah ini mampu menerima anugerah ini “.
Betara Narada mengatakan “
Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan
dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung
martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata
karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai
sesuatu yang baik. “ Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata
kembali ke kayangan.
Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka
sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai
mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka
berebut meandatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik
untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang
dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang
orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima
kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima
ajarannya. Namun semakin besar kekuatan yang diberikan ke kita semakin besar pula tanggung jawab kita, karena diakhir cerita Bagawan wisrawa melakukan kesalahan karena Ilmu tersebut tidaklah boleh sembarangan diberikan.