Pages

Vasavattimaradhiraja si Maharaja dari segala Mara

0 komentar
 
Vasavattimaradhiraja yang sekarang menjadi maharaja dari para dewa Mara yang bertinggal di Sorga Paranimmitavasavatti adalah seorang Bodhisatta yang sedang menyempurnakan paramathaparami untuk mencapai Kebuddhaan di masa mendatang. Usaha itu telah dimulainya dalam hitungan asankheyya.

Semasa Sammasambuddha Kassapa muncul di dunia, Maradhiraja terlahir sebagai seorang manusia yang bernama Bodhi. Dia bekerja sebagai Senapati utama dan terpercaya dari Maharaja King-kissa. Karenanya, dia juga dipanggil Bodhisenapati.

Pada suatu hari, Maharaja Kingkissa - yang mempunyai saddha terhadap Buddhasasana - mendengar bahwa Sang Buddha Kassapa sedang masuk ke dalam Nirodhasamapatti yang penuh kebahagiaan selama tujuh hari, di bawah naungan pohon beringin yang amat besar. Mendekati saat keluarnya Sang Buddha dari Nirodhasamapatti, Maharaja berpikir : 'Sang Buddha akan segera mengakhiri samadhi-Nya. Barang siapa mempersembahkan dana pada saat itu, akan mendapat berkah yang besarnya tak terhingga, apapun keinginannya akan tercapai. Saya tak akan menyia-nyiakan saat yang baik ini.' Lalu mengeluarkan perintah dan pengumuman pada rakyatnya.

'Barang siapa mendahului Maharaja mempersembahkan dana pada Sang Buddha sesaat beliau mengakhiri samadhi-Nya, saya akan menghukum pancung orang itu.'

Untuk itu Maharaja memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk menjaga sekeliling pohon beringin dimana Sang Buddha sedang melakukan samadhi.

Bila ada orang yang datang hendak mempersembahkan dana, diperintahkannya untuk ditangkap. Bodhisenapati tahu akan pengumuman itu. Namun, dia - yang mempunyai saddha yang amat kuat dan bijaksana - tetap mempunyai keinginan untuk mempersembahkan dana kepada Sang Buddha sesaat Beliau mengakhiri samadhi-Nya. Dia berpikir bahwa berkah yang didapat amatlah besar. Dia tak akan menyesal walau harus mati karenanya.

Pada keesokan harinya, di saat Sang Buddha akan mengakhiri samadhi, Bodhisenapati bersama istrinya, menyiapkan makanan persembahan dan pergi menemui Sang Buddha.

Demi melihat Bodhisenapati beserta istrinya, para prajurit penjaga bertanya : 'Wahai Tuan Senapati, kenapa Tuan melanggar perintah Maharaja. Bukankah Tuan tahu bahwa Maharaja melarang siapapun mempersembahkan dana kepada Sang Buddha? Maharaja sendirilah yang akan mempersembahkan. Atau mungkin Tuan akan pergi ke tempat lain?'

Mendengar itu Bodhisenapati berpikir : 'Kalau seandainya saya berbohong kepada mereka, atau menasehati Maharaja untuk mengundang Sang Buddha ke istana, tentu mereka akan percaya dan mengikuti nasehat saya. Tapi, saya tak ingin melakukannya. Sebab, dengan berbohong, berkah yang saya dapat tak akan sesuai dengan harapan. Jadi, sebaiknya saya berkata dengan sesungguhnya, walau harus mati karenanya.'

Maka, iapun menjawab : 'Ya, kami akan mempersembahkan dana makanan
pada Sang Buddha.'

Para prajurit itu pun segera menangkap Bodhisenapati dan istrinya. Dan dibawa menghadap Maharaja untuk diadili. Maharaja amat Marah karena dikhianati panglima perangnya dan menjatuhi hukuman pancung terhadap Bodhisenapati dan istrinya.

Kassapa Sammasambuddha tahu semua apa yang terjadi. Dengan mata Kebuddhaan-Nya, Beliau tahu siapa Bodhisenapati. Beliau menaruh metta
padanya.

Beliau segera menciptakan bayangan sendiri untuk tetap tinggal di tempat semula, dan beliau sendiri pergi menemui Bodhisenapati yang sedang menanti dilaksanakannya hukuman pancung terhadapnya. Karena kesaktian-Nya, tak seorang pun bisa melihat kedatangan Beliau selain Bodhisenapati dan istri. Lalu berkata : 'Wahai Bodhisenapati, tetaplah tenang. Tetap pertahankan saddhamu. Jangan menyesali kehidupan ini.
Segera persembahkan dana makanan yang telah kau persiapkan dengan keyakinan yang penuh terhadap Tathagata.'

Demi mendengar itu, keyakinan Bodhisenapati semakin mantap. Dengan saddha dan piti yang telah memenuhi batinnya, dipersembahkannya dana mereka pada Sang Buddha serta mengucapkan panidhana :

'Sang Buddha sebagai guru dan pelindung bagi semua makhluk. Saya telah rela menerima kematian demi mempersembahkan dana makanan ini pada Sang Buddha. Semoga dana persembahan ini menjadi penyebab bagi keinginan saya untuk mencapai pencerahan sebagai Sammasambuddha di masa yang akan datang.'

Sambil mengelus kepala Bodhisenapati, Sang Buddha Kassapa berkata :

'Apa yang kau harapkan akan tercapai. Wahai Bodhisenapati, yakinlah, dimasa yang akan datang kau akan mencapai pencerahan sebagai seorang Sammasambuddha.'

***********

Setelah dalam waktu yang amat lama mengikuti daur kehidupan dan kematian dalam vattasamsara ini, Bodhisenapati terlahir sebagai dewa
Mara, menguasai Sorga Paranimitavasavatti. Dan sempat bertemu dengan Sang Buddha Gotama, yang sebenarnya merupakan kesempatan yang amat baik untuk berbuat kebajikan dan belajar Dhamma pada Buddha Gotama. Namun, kesempatan yang amat baik itu sama sekali tidak dimanfaatkannya. Bahkan, sebaliknya, ia selalu menghambat, menghalang dan mengganggu Sang Buddha; sejak awal usaha untuk mencapai Kebuddhaan, hingga menjelang akhir dari kehidupan Sang Buddha. Sebagai dewa puthujana yang amat sakti namun dikuasai oleh kilesa, dengan sombongnya ia menguji dan menghalangi kegiatan Sang Buddha Gotama yang penuh metta. Namun, segala perbuatan jeleknya itu tak (sampai) bisa digolongkan sebagai garuka kamma yang menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam neraka Avici, seperti Bhikkhu Devadatta yang telah melukai Sang Buddha dan memecah belah Sangha.

Kiranya, perbuatannya itu bisa diibaratkan sebagai seorang anak nakal atau durhaka yang selalu tak menyetujui dan melawan orang tuanya. Dan ternyata, Sang Buddha pun tak pernah meramalkan sesuatu yang jelek pada dewa Mara seperti kepada bhikkhu Devadatta.

Rupanya, kenakalan dewa Mara muncul kembali manakala ia tahu ada seseorang yang berusaha melestarikan dan mengembangkan Dhamma secara
murni.

Itu terbukti saat Asoka Maharaja akan mengadakan peresmian dan perayaan atas terselesaikannya pemugaran candi-candi Buddha di India, kurang lebih 200 tahun setelah Sang Buddha parinibbana. Ia berusaha mengganggu dan menggagalkan perhelatan besar itu. Namun, kenakalannya itu bisa diredam oleh Upagupta Thera, yang membuat dewa Mara jera dan menyesal. Kembali mengucapkan adhitthana untuk menjadi Sammasambuddha.

*********

Menjelang diadakannya perhelatan peresmian dan perayaan atas berhasilnya pemugaran candi-candi Buddha dan pelestarian Buddhasasana yang diprakarsai oleh Asoka Maharaja, para bhikkhu Arahat dan menguasai Abhinna, berkumpul diketuai oleh Moggalliputta Tissa Thera. Mereka membicarakan tentang maksud dewa Mara yang akan datang mengganggu dan menghalangi terlaksananya perhelatan tersebut. Walaupun para bhikkhu itu telah mencapai Kearahatan dan menguasai Abhinna, namun mereka merasa tak seorang pun mampu mengalahkan kesaktian dewa Mara. Mereka mengetahui dengan mata dewa mereka, hanya seorang bhikkhu yang mampu mengatasi dewa Mara. Dia adalah Kisanaga Upaguta Thera juga disebut Upagupta Thera ) yang saat itu berdiam di dasar samudera Hindia.

Sang Buddha pernah meramalkan bahwa di masa yang akan datang akan muncul seorang bhikkhu bernama Upagupta yang akan meredam kejahatan dewa Mara dengan kesaktiannya yang membuat Mara sadar akan kesalahannya.

Upagupta Thera adalah seorang bhikkhu yang amat sederhana dan lebih suka tinggal sendiri di tempat-tempat yang hening. Tak suka berkumpul beramai-ramai. Dia suka mengembara di hutan-hutan, juga di samudera.
Bila tinggal di dasar laut, ia akan menciptakan kuti dari kaca, dan tinggal sendiri dengan tenang dalam jhana samapatti berlama-lama. Tanpa makan dan minum. Hingga badannya amat kurus. Karenanya, ia dinamakan bhikkhu Kisanaga Upagupta.

Pasamuan Sangha memutuskan mengirim dua orang bhikkhu mengundang bhikkhu Upagupta untuk mengatasi gangguan dewa Mara.

Maka dalam sekejap, dua bhikkhu sakti itu telah tiba dihadapan bhikkhu Upagupta. Setelah saling tegur dengan Dhamma patisanthara, bhikkhu
utusan itu berkata:

'Avuso Upagupta, kami diutus oleh Pasamuan bhikkhu mengundang Anda untuk ikut membantu terlaksananya perhelatan kita. Kami dengar Mara akan datang menggagalkan maksud kami. Sangha menugaskan Anda untuk mengatasi Mara. Kami harap Anda tak menolak tugas ini.'

Bhikkhu Upagupta pun menjawab :

'Baiklah Avuso, saya menyanggupi tugas ini. Sekarang silakan Avuso pergi lebih dulu. Saya segera akan menyusul.'

Maka, menghilanglah kedua bhikkhu itu dari hadapan Upagupta Thera dan muncul kembali di tengah-tengah Pesamuan para bhikkhu. Tapi, apa yang mereka lihat? Ternyata bhikkhu Upagupta telah tiba lebih dulu. Duduk dengan tenangnya di hadapan Moggalliputta Tissa Thera.

Keesokan harinya, bhikkhu Upagupta pergi pindapata, menerima dana makanan dari para upasaka-upasika. Kala itu Asoka Maharaja melihat bhikkhu Upagupta yang bertubuh amat kurus, merasa ragu-ragu : 'Dewa Mara terkenal amat sakti. Mungkinkah orang sekurus bhikkhu Upagupta itu mampu mengalahkan kesaktian dewa Mara?' Untuk meyakinkan dirinya, ia ingin menguji kemampuan bhikkhu kurus itu. Maka, dengan segera ia memanggil pengawalnya dan memerintahkan membuat mabuk seekor gajah istana yang besar dan dilepas menghadang perjalanan bhikkhu Upagupta.

Sang gajah dengan liar dan ganasnya segera menyerang bhikkhu Upagupta.

Melihat itu, Upagupta Thera segera masuk ke dalam metta jhana dan mengirimkan getaran metta ( cinta kasih ) pada gajah yang sedang mabuk itu, membuat sang gajah tersadar dari keadaan mabuknya. Kembali menjadi gajah istana yang perkasa tapi jinak dan manis. Dengan lembutnya, ia menekuk kaki depannya dan bernamakkara di hadapan Upagupta Thera. Upagupta Thera mengelus kepala si gajah lalu dengan tenang meneruskan perjalanan.

Perhelatan yang konon dilaksanakan selama tujuh tahun, tujuh bulan dan tujuh hari itu dibuka langsung oleh Maharaja Asoka dengan hati yang tenang karena ia yakin pada kemampuan bhikkhu Upagupta.

Perayaan itu dibuat amat meriah dan mewah. Lampu-lampu hias dan penerangan amatlah indah dan cemerlang. Terutama lilin-lilin, bunga-bunga serta dupa pemujaan di altar Sang Buddha ditata begitu indahnya. Sabda-sabda Sang Buddha dilantunkan kembali oleh para bhikkhu dengan suara yang teratur dan merdu. Suasana benar-benar sakral dan menyejukkan hati. Rakyatpun amat bersuka hati dengan diadakan keramaian itu. Raja yang dermawan dan bijaksana itu berhasil merebut hati rakyatnya dengan penerapan Dhamma yang benar.

----------
(Pengabdian Asoka Maharaja terhadap Buddhasasana bukan hanya pemugaran
candi-candi Buddha di India. Namun, juga mendukung diadakannya Sangayana yang ketiga. Mendukung pengiriman para Dhammaduta ke luar negeri. Yang terkenal diantaranya yaitu, putra-putrinya sendiri, Mahinda Thera dan Sanghamitta Theri yang dikirim ke Sri Langka. Mahinda Thera mengadakan Sangayana disana. Sementara Sanghamitta Theri mendirikan Sangha Bhikkhuni. Dan, Dhammaduta yang diketuai oleh Sona Thera dan Uttara Thera yang menyebarkan Dhamma ke Burma, Thailand dan sekitarnya, sempat mampir ke pulau Jawa sejenak. Namun, karena perjalanan ke tenggara itu amat berat, tak seorang bhikkhuni pun menyertai sebagai Dhammaduta sehingga tidak terdapat Sangha Bhikkhuni di tempat yang dikunjungi Sona Thera dan Uttara Thera).
--------------

Namun, perhelatan yang memang telah direncanakan amat meriah dan menarik itu, ternyata masih ditambah dengan suatu pertunjukan seru dan mengerikan yang tak diduga sebelumnya. Membuat suasana semakin meriah. Itu disebabkan oleh ulah dewa Mara yang merasa tak senang atas berhasilnya pemugaran candi-candi Buddha dan kini sedang dirayakan. Hatinya merasa gatal melihat kejayaan Buddhasasana.

Dengan segera ia turun dari Sorga Paranimitavasavatti dan menciptakan badai, angin puyuh yang dahsyat menyapu segala perlengkapan perhelatan yang telah diatur sedemikian indah. Melihat itu, Upagupta Thera segera masuk jhana dan ber-adhitthana menghentikan badai dahsyat itu dan mengembalikan segala sesuatu yang telah porak poranda ke tempatnya semula. Dewa Mara terkejut dan merasa terhina demi melihat lawannya hanyalah seorang bhikkhu yang bertubuh amat kurus dan jangkung. Dia merubah diri menjadi seekor kerbau hutan yang amat besar dan ganas. Mengamuk dan merusak barang-barang di sekitarnya. Lalu berlari menubruk hendak melumat tubuh bhikkhu Upagupta.

Sang Thera mengubah diri menjadi seekor harimau yang jauh lebih besar dari kerbau hutan itu. Langsung menerkam dan menangkap si kerbau, membuat si kerbau menguak dan meraung kesakitan. Harimau besar tidak juga melepaskan kerbau yang telah tak berdaya itu, membuat Mara semakin marah dan mengubah diri menjadi seekor naga. Meronta, membebaskan diri dan menyemburkan api beracun menyerang harimau besar. Dengan cepat harimau itu mengubah diri menjadi seekor garuda yang amat besar. Menyambut serangan nagaraja dengan paruhnya yang menganga lebar.

Maka, berlagalah kedua makhluk dahsyat itu dengan serunya. Segala jurus dan usaha dari nagaraja untuk membelit dan menundukkan raja garuda selalu gagal. Dengan lincah dan ligatnya garuda menghindar dan membalas serangan sang naga. Api berbisa yang berkobar-kobar pun seolah-olah bagaikan angin sepoi-sepoi dirasakan garuda.

Akhirnya, sang garuda berhasil menangkap leher naga dengan paruhnya. Diterkamnya tubuh sang naga dengan cakarnya yang besar dan tajam serta
dibawa terbang ke udara. Dalam keadaan yang tak berdaya, badan sang naga terombang-ambing di udara lalu dihempaskan kembali ke bumi. Mara semakin gusar dengan kekalahan yang membawa siksa ini.

Ia segera mengubah diri menjadi raksasa yang amat besar dengan taring yang mengerikan. Tangan kanannya menggenggam gada pemukul sebesar pohon kelapa. Meraung-raung menyerang garuda. Namun, garuda pun segera berubah menjadi raksasa pula. Badannya lebih besar dan kedua tangannya
memegang gada pemukul pula. Menyambut serangan raksasa Mara. Saling
serang, saling mengelak. Bumi pun berdentam-dentam akibat hempasan kaki kedua raksasa. Pukulan-pukulan raksasa Mara sering tidak mengenai sasaran bahkan kalau mengena pun seolah tak dirasa oleh raksasa ciptaan Sang Thera. Namun, pukulan raksasa ciptaan Sang Thera terasa amat menyakitkan di tubuh maupun hati raksasa Mara. Tubuhnya terasa remuk redam dan hatinya pun merasa amat sakit dan pilu menerima setiap pukulan yang mengena.

Dewa Mara teringat saat bersama pasukannya menyerang Sang Buddha.
Semua senjata yang dilontarkan menyerang tubuh Buddha Gotama berubah
menjadi rangkaian besar bunga yang indah memayungi Sang Buddha. Pasukannya mundur tersapu badai. Sang Buddha membalas serangan-serangan dahsyat Mara dengan metta. Beliau sama sekali tidak
membalas serangan dengan siksaan seperti yang diterimanya sekarang. Bhikkhu Upagupta - murid Sang Buddha itu - telah membuatnya benar-benar tak berdaya dan tersiksa. Tubuhnya kembali menjadi dewa Mara, terpuruk lemas di hadapan Sang Thera yang berdiri dengan tenangnya.

Sebenarnya, ia ingin mengerang dan merintih karena rasa sakit disekujur tubuhnya. Namun, perasaan angkuh yang masih menguasai dirinya membuatnya bungkam seribu basa. Rupanya, penderitaan yang dialaminya
itu belum mampu menghancurkan kesombongan dan keangkuhan yang selama ini menjadi kebanggaannya. Dengan pasrah ia menunggu apa yang akan
terjadi selanjutnya pada dirinya, karena memang tak mampu berbuat selain dari itu.

Dengan kesaktiannya, Upagupta Thera menciptakan bangkai anjing yang telah berbau sangat busuk dan berulat. Lalu dikalung-kan pada leher dewa Mara serta ber-adhitthana : 'Tak seorang pun, dewa bahkan brahma yang mampu melepas bangkai anjing ini dari lehermu.'

Dewa Mara pun amat terkejut mendengarnya. Kesombongan dan keangkuhan
kembali mengendalikan batinnya. Dengan marahnya ia terbang mencari pertolongan pada dewa Catumaharajika. Namun, dewa-dewa Catumaharajika
hanya bisa menjawab :

'Tuanku, Tuan saja yang lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya. Apalagi kami.'

Begitupun ketika minta pertolongan pada dewa-dewa yang lebih tinggi dari dewa-dewa Catumaharajika, seperti Yamadhiraja dan lain-lain. Mereka menjawab :

'Tuanku, Tuan saja yang lebih sakti dari kami tak mampu melepasnya. Apalagi kami.'

Mendengar jawaban itu, ia tak segera putus asa. Ia terbang menemui dewa Brahma bahkan Maha Brahma untuk minta pertolongan melepas bangkai anjing yang menjijikkan itu dari lehernya.

'Wahai Maha Brahma yang sakti dan baik hati, tolong lepaskan bangkai anjing ini dari leher saya. Bangkai anjing ini semakin lama semakin busuk saja.'

'Sayang sekali, dewa Mara. Bukannya kami tak mau menolong Anda. Tapi, sebenarnyalah, tak seorang pun dewa atau Brahma di tiga alam ini yang
mampu melepas bangkai yang menghiasi leher Anda itu. Hanya ada satu
orang yang mampu melakukannya.'

'Katakanlah Tuan, siapa yang mampu melakukannya?' tanya dewa Mara penuh harap. Tapi, jawaban Maha Brahma membuatnya berkecil hati kembali.

'Dia adalah Upagupta Thera, Buddhasavaka yang telah mencapai Kearahatan dan mempunyai Chalabhinna.'

'Murid Gotama itu telah menyiksaku. Tolong nasehatkan padaku, apakah aku harus merengek-rengek padanya? Maha Brahma, saya merasa keberatan berhadapan muka dengannya. Hendak ditaruh dimanakah muka saya ini?'

'Wahai dewa Mara. Kami nasehatkan, kembalilah padanya. Sang Thera adalah seorang yang penuh metta seperti Buddha Gotama gurunya. Atau Anda menunggu hingga Sang Thera Parinibbana? Lalu, siapa pula yang mampu melepas bangkai itu dari leher Anda? Apakah Anda menghendaki perhiasan itu selama hidup Anda?'

Maka, dewa Mara pun berpikir : 'Baiklah! Kalau memang hanya bhikkhu itu yang mampu melepaskannya, aku akan pergi padanya. Bila telah terbebas dari bangkai menjijikkan ini, aku akan pergi dan tak ingin melihat mukanya lagi.'

Setelah berpamitan, maka ia kembali ke dunia menemui bhikkhu Upagupta.

Bhikkhu Upagupta duduk samadhi di kaki gunung Himalaya, seolah sedang menunggu kedatangan dewa Mara. Dewa Mara duduk di hadapan Sang Thera,
menunggu dengan tertibnya.

'Dewa yang baik, kau telah kembali rupanya. Kemana saja selama ini?' tegur Sang Thera. Mendengar pertanyaan ini, makin guguplah ia, seperti seorang anak nakal yang ditegur ayahnya.

'Bhante, lepaskanlah bangkai ini dari leher saya.' Hanya itu yang diucapkannya. Sang Thera pun tahu bahwa dewa sakti itu masih tetap
dikuasai kesombongan dan keangkuhan.

Bhikkhu Upagupta berdiri. Melolos ikat pinggangnya serta melemparkannya pada dewa Mara. Ikat pinggang itu memanjang di udara, jatuh tepat di tubuh dewa Màra, membelit, mengikat tubuh dewa Mara.
Tubuh yang telah terikat erat dan tak bisa berkutik itu dijinjing oleh Sang Thera, dibawa terbang menuju puncak gunung Himalaya.

'Lebih baik kau beristirahat di sini selama perhelatan yang diadakan Asoka Maharaja berlangsung. Dengan begini, kau tak bisa mengganggunya,' kata bhikkhu Upagupta sambil mengikat tubuh dewa Mara pada puncak Himalaya. Dan Sang Thera pun beradhitthana : 'Tak seorang pun, dewa bahkan Brahma yang akan mampu melepaskanmu.' Dan ditinggalnya Mara terikat sendirian di atas sana selama tujuh tahun, tujuh bulan dan tujuh hari. Alangkah menderitanya dewa malang itu. Ia hanya bisa mengerang, mengeluh dan meronta tanpa bisa melepaskan diri.

*******

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan pun berganti tahun. Akhirnya, tiba pula saatnya perayaan meriah itu paripurna. Bhikkhu Upagupta pergi ke tempat dewa Mara terikat sedang merenungi dan meratapi nasibnya tanpa bisa dilihat oleh dewa Mara. Sang Thera sengaja tak menampakkan diri agar bisa tahu apakah dewa Mara telah jera atau belum.

Mara yang tahu bahwa hari itu adalah hari berakhirnya perhelatan besar, yang berarti akan terbebaskannya dirinya dari derita setelah tujuh tahun lebih harus berkalungkan bangkai anjing busuk dan badan terikat erat tak bisa beranjak kemana pun.

Baru kali ini dia punya kesempatan merenungkan semua tindakan dan tingkah laku yang salah di masa lalu. Dalam keadaan tak berdaya, batinnya bisa berpikir dengan jernih. Bukan dia yang terhebat di dunia ini!

Dia teringat, karena pikiran usilnya, mengganggu Buddha Gotama yang tak pernah berbuat salah padanya, dengan segala macam cara. Sammasambuddha Gotama yang telah mencapai kesucian tertinggi, terbebas dari nafsu, dia umpan dengan anak-anak gadisnya yang cantik menggairahkan.

Sammasambuddha Gotama yang menguasai segala kesaktian, dia serang
dengan kekuatan penuh, dengan pasukan dan senjata lengkap. Sang Buddha
mengalahkannya tanpa menyakitinya, tanpa menyiksanya. Keusilannya belum cukup sampai di situ. Kemudian, ia meminta Buddha Gotama untuk segera memasuki Parinibbana. Begitupun ketika Buddhasasana, karya Sang Buddha berjaya, iapun merasa tak senang. Sang Buddha tak pernah mempunyai urusan dengannya. Buddhasasana pun tak pernah menyusahkannya. Tapi, kenapa pula ia mencari perkara terhadap orang yang tak bersalah. Kenapa pula ia usil terhadap orang yang tak pernah mengusilinya.

Dan kini, karena ulahnya itu, ia terkena batunya. Ia harus tersiksa karenanya. Murid Buddha Gotama yang muncul dua ratus tahun setelah Sang Buddha Parinibbana itu telah memberinya pelajaran yang amat berharga, walau terasa amat pahit. Membuat mata hatinya terbuka lebar. Membuatnya sadar, betapa jahatnya dirinya, betapa usilnya dirinya, betapa bodohnya dirinya.

Mengingat itu semua, dia merasa amat malu pada dunia. Dia merasa amat
malu pada Buddha Gotama. Dia merasa amat malu pada bhikkhu Upagupta.
Dan lebih dari itu semua, ia merasa amat malu pada diri sendiri. Dia menyesali diri sendiri yang telah buta terhadap kebaikan. Mengabaikan kesempatan yang amat langka.

Akhirnya, ia merasa amat marah terhadap dirinya sendiri. Giginya mengatup, menggeretak. Dengan geram ia meronta. Dihentakkannya kakinya beberapa kali ke tanah. Bumi pun berguncang. Salju pun pecah bertebaran, berserakan menggelinding ke bawah mengikuti aliran sungai Gangga.

Setelah melampiaskan kemarahan yang mengganjal di dada, Dewa Mara merasa lilih, tenang. Pikirannya menjadi semakin jernih.

'Alangkah beruntungnya aku bertemu dengan bhikkhu Upagupta yang mampu
menyadarkan diriku. Apa yang terjadi bila tak seorang pun mampu mengajarku. Tentu aku akan tetap tersesat pada kejahatan. Tapi, akan lebih baik lagi bila aku mampu mencapai pencerahan sebagai Sammasambuddha yang penuh welas asih, sebagai pelindung dan guru dari semua makhluk' pikirnya.

Maka, di kesunyian puncak Himalaya yang amat dingin dan penuh salju,
dengan lantangnya dewa Mara, penguasa sorga Paranimmitavasavatti itu,
ber-adhitthana : 'Wahai alam semesta dan seisinya, saksikanlah, aku, Maradhiraja penguasa sorga Paranimmittavasavatti, sejak saat ini,
menyatakan diri berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha, bertekad
akan berusaha menyempurnakan parami untuk mencapai penerangan sempurna
sebagai Sammasambuddha, pelindung dan guru bagi semua makhluk.'
Sesudah menguncarkan adhitthana itu, batinnya dipenuhi oleh ketenangan
dan kebahagiaan. Ketenangan dan kebahagiaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

Tiba-tiba, muncullah Upagupta Thera di hadapannya. Dengan malu-malu dewa Mara menegur Sang Thera : 'Bhante, berarti sejak tadi Bhante telah berada di sekitar tempat ini.'

'Benar, dewa yang baik. Saya tahu apa yang Anda perbuat dan mendengar
apa yang Anda katakan. Maka dari itu, ijinkan saya menyampaikan hormat
saya pada Anda, seorang Bodhisatta.'

'Tapi, Bhante dengan begitu kejamnya telah menyiksa saya. Saya tak ingin menjadi seorang Arahat seperti Bhante, karena saya tak ingin ada orang tersiksa seperti saya. Saya ingin menjadi Sammasambuddha yang penuh welas asih.'

Dengan tersenyum geli, Upagupta Thera berkata :

'Dewa yang baik, janganlah Anda mendendam pada saya. Karena kamma kita
di masa lampau, kita berdua harus sering bertemu dan saling menyakiti. Tapi, dalam kehidupan ini, sayalah yang menang dan berhasil mengingatkan Anda kembali ke jalan yang benar. Itu tugas akhir saya terhadap Anda. Bukankah kita tak akan bertemu lagi pada kehidupan yang akan datang? Karenanya, harap Anda memaafkan saya bila Anda merasa tersiksa karenanya. Jadi, bukan karena saya tak mempunyai welas asih. Tapi, semata-mata karena kewajiban yang harus saya lakukan.'

'Bhante benar. Tak ada lagi hutang piutang diantara kita. Saya merasa amat berterima kasih pada Bhante yang telah menolong saya untuk kembali ke jalan yang benar. Dan Bhante ..., telah terlalu lama saya menderita begini. Tolong bebaskanlah saya sekarang. Saya telah rindu pada kebahagiaan sorgawi di istana saya' pintanya.

Bhikkhu Upagupta memejamkam mata sejenak, sambil mengatupkan kedua telapak tangan di dada. Maka, terurailah ikat pinggang yang membelit
tubuh dewa Mara, melayang di udara, menjadi pendek seperti semula dan
jatuh tepat di tangan Sang Thera. Bangkai anjing di leher Mara pun lenyap seketika.

Dewa Mara menarik napas dengan lega. Dia merasa amat kagum pada kesaktian Sang Thera, murid Sang Buddha. Kalau muridnya saja begitu sakti, bagaimana pula dengan Sang Buddha. 'Sebelum Anda kembali ke tempat Anda, bolehkah saya meminta sesuatu pada Anda?' tanya Upagupta Thera setelah membebaskan dewa Mara.

'Tentu, Bhante. Apakah yang harus saya perbuat untuk Bhante?'

'Wahai dewa Mara. Dalam satu hal, saya merasa kurang beruntung. Saya dilahirkan jauh sesudah Sang Tathagata parinibbana. Karenanya, saya tak pernah bertemu dan melihat langsung bagaimanakah rupa dari Guru saya tersebut. Dalam hal ini Anda lebih beruntung dari pada saya. Anda pernah bertemu dan melihat langsung Sang Buddha. Saya harap Anda mau mengubah diri Anda menjadi Sang Buddha agar saya dapat melihat bagaimanakah Guru saya itu. Itulah permintaan saya.'

'Baiklah, Bhante. Tapi, dengan satu syarat yang harus Bhante penuhi. Bila saya telah mengubah diri menjadi Sang Buddha, janganlah Bhante namakkara pada saya. Saya tak sanggup lagi menerima buah kamma buruk karenanya,' kata Mara penuh kekhawatiran.

'Baiklah,' jawab Sang Thera.

Maka, Mara mengubah diri menjadi Buddha Gotama, lengkap dengan Mahapurisalakkhana (tiga puluh dua ciri-ciri Kebuddhaan). Berjalan dengan anggunnya diiringi oleh murid-murid utamanya.
Setelah cukup lama memperhatikan dengan seksama, dengan penuh hormat,
Upagupta Thera melakukan namakkara di hadapan Sang Buddha.

Dengan segera lenyaplah pemandangan Sang Buddha beserta murid-muridnya, berganti dengan dewa Mara yang sedang berdiri dengan muka cemberut memandang Sang Thera.

'Mengapa Bhante mengingkari janji? Mengapa Bhante namakkara pada saya?
Lalu, buah kamma apa lagi yang akan saya terima karenanya? Dulu saya telah banyak berbuat jahat pada Sang Buddha. Dan saya harus tersiksa dengan badan terikat di puncak Himalaya ini,' kata Mara dengan penuh kecemasan.

'Janganlah anda cemas. Saya tak mengingkari janji. Bhikkhu Upagupta tidak melakukan namakkara pada dewa Mara. Saya melakukan namakkara pada Sang Buddha, guru saya. Hal itu sama sekali tak berpengaruh pada anda. Anda tidak akan menerima akibat buruk karenanya. Terima kasih atas kebaikan anda. Kini, silakan kembali ke tempat Anda di sorga Paranimmitavasavatti. Sayapun akan kembali ke senasana saya di laut selatan. Selamat tinggal, dewa Mara.' Maka lenyaplah Sang Thera dari pandangan dewa Mara.

Dewa Mara pun segera kembali ke sorga Paranimmitavasavatti, tingkatan
sorga yang tertinggi di antara sorga para dewa.

Kini, Maradhiraja yang biasa dikenal sebagai dewa Mara, masih bertinggal di sorga Paranimmitavasavatti sebagai seorang Bodhisatta yang sedang menghimpun Dasaparami. Kelak, di kappa yang akan datang, dewa Mara akan berhasil mencapai penerangan sempurna sebagai seorang Sammasambuddha. Sebagai satu-satunya Sammasambuddha di kappa tersebut.
Akan disebut Sammasambuddha Dhammasami, yang mempunyai amat banyak
murid yang berhasil mencapai kesucian.Kappa dimana kini kita hidup, mempunyai paling banyak Sammasambuddha, yaitu lima orang Sammasambuddha.
Readmore...

Karma

0 komentar
 
KARMA

Karma (Sanskerta: karma) berarti perbuatan. Karma merujuk pada perbuatan berkehendak yang kita lakukan dengan tubuh, ucapan, dan pikiran kita melalui berbuat, berkata, dan berpikir. Karma adalah kaidah bahwa setiap perbuatan yang dilakukan, jika kondisinya sesuai, akan menghasilkan akibat tertentu.

Bagaimana Karma Bekerja?

Semua perbuatan meninggalkan jejak atau benih pada kesadaran kita, yang akan masak menjadi pengalaman-pengalaman kita ketika kondisi yang sesuai muncul. Sebagai contoh, jika kita menolong seseorang dengan hati yang tulus, perbuatan ini akan meninggalkan jejak-jejak positif dalam arus pikiran kita. Ketika kondisinya memadai, jejak ini akan masak dalam bentuk kita menerima pertolongan tatkala kita membutuhkannya.

Benih-benih Karma terus mengikuti kita dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya. Bagaimanapun juga, jika kita tidak menciptakan sebab-sebab atau Karma untuk terjadinya sesuatu, kita tidak akan mengalami hasilnya. Jika kita tidak menanam benih tertentu, tanaman tidak akan tumbuh. Buddha mengajarkan:

Sesuai benih yang ditabur,
begitulah buah yang dituai.
Pelaku kebaikan akan meraih hasil yang baik,
Pelaku keburukan akan memetik hasil yang buruk.
Jika engkau menanam benih yang baik,
engkau akan menikmati buah yang baik.

Apakah Pengaruh Karma?

Karma mempengaruhi kelahiran kita yang akan datang dan mempengaruhi apa yang kita alami selama hidup ini: bagaimana orang lain memperlakukan kita, kekayaan kita, status sosial kita, dan sebagainya. Karma juga mempengaruhi kepribadian dan watak kita, bakat kita, perilaku kita, dan kebiasaan kita. Jenis lingkungan tempat kita dilahirkan juga dipengaruhi oleh Karma.

Kita yang sekarang ini sesuai dengan apa yang telah kita lakukan. Kita yang akan datang sesuai dengan apa yang tengah kita lakukan. (ehipassiko)

Ada Jenis Karma Apa Saja?

didalam Bhagavad-Gita disebutkan yaitu Karma, Akarma dan Vikarma.

Karma merupakan perbuatan/aktivitas yang pada umumnya kita lakukan sehari-hari, yang batasnya hanyalah di lingkungan baik dan buruk. Tidak lebih dari pada batas itu. Jika Kita berbuat baik, akan menghasilkan pahala baik, jika kita berbuat buruk, perbuatan tersebut akan mengantarkan orang pada hasil atau pahala buruk pula.
Lebih jauh…, perbuatan buruk akan mengantarkan kita ke alam-alam bawah, atau neraka-neraka dengan pembagiannya yang sangat rapi, siapa berbuat apa akan pergi kemana dan mendapatkan siksaan macam apa selama berapa waktu, entah ke alam bawah bernama Tala, Tala-Tala dan lain lain yang banyaknya berjumlah tujuh jenis, atau kalau orang berbuat baik akan mendapatkan hasil-hasil baik, berupa pahala-pahala yang mengantarkan mereka menuju alam-alam lebih tinggi yang dinamakan surga (yang berjumlah tujuh tingkat).
Terhadap Karma baik yang mengantarkan orang-orang dapat pergi dan menikmati pahalanya di surga-surga tersebut Shri Krishna memberikan kesimpulan "ksine punye", bahwa kapan pahala perbuatannya habis dinikmati di Surga, maka ia akan kembali lagi menjelma ke dunia ini (martya-lokam visanti). Ia harus kembali lagi mengulangi dan mengalami berbagai kesengsaraan yang telah ia alami berulangkali didalam penjelmaan-penjelmaan sebelumnya.

Akarma, adalah perbuatan yang tidak berbuat, atau tidak berbuat didalam berbuat. Karma dalam tingkat ini dinamakan Visuddha Karma, yaitu perbuatan/aktivitas yang tidak lagi menghasilkan buah baik atau buruk, melainkan ia mengantarkan orang kepada alam di luar Surga-Surga, yaitu alam pembebasan, alam Vaikuntha, alam yang telah sepenuhnya bebas dari segala jenis kecemasan dan keragu-raguan. Seperti mengorbankan dirinya (tubuh pikiran ucapan) untuk pembebasan.

Vikarma, adalah perbuatan yang dianjurkan oleh kitab suci untuk tidak dilakukan. Ada orang yang tanpa usaha keras dapat menjauhkan dirinya dari perbuatan-perbuatan tidak baik, tetapi ada pula orang yang memerlukan bantuan kitab-kitab suci untuk memberikan wanti-wanti dan arahan kepada dirinya untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak baik. Acharya Shridhara menunjuk perbuatan Vikarma pada pengertian perbuatan Adharma, yaitu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran agama, moral spiritual.
Resi Daksa memberikan 9 (sembilan) jenis perbuatan yang dikelompokkan kedalam Vikarma, antara lain :
1.Anritam karma, yaitu perbuatan yang penuh berada dalam kebohongan, perbuatan yang tidak berada didalam kebenaran. Tegasnya, Anritam karma adalah perbuatan penuh kebohongan.
2.Paradara karma, yaitu perbuatan berselingkuh dengan istri orang/wanita lain.
3.Abhaksya-bhaksanam karma, artinya memakan makanan yang dilarang oleh kitab-kitab suci, atau makanan-makanan yang menjatuhkan kesehatan, sifat keagamaan dan spiritualitas.
4.Agamyagamanam karma, menggauli wanita bermoral rendah, atau wanita yang sedang tidak boleh digauli sesuai dengan adat-tradisi atau bahkan istri sendiri selama masa tertentu.
5.Apeyapanam karma, yaitu meminum minuman terlarang.
6.Steyam karma, yaitu kegiatan mencuri.
7.himsa karma/Hingsanam karma, dimaksudkan adalah perbuatan kekerasan, menyakiti yang lain termasuk binatang tanpa alasan yang dibenarkan kitab-kitab suci.
8.Asrautrakarmacaranam karma, berarti perbuatan yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Veda.
9.Maitradharmabahiskritam karma, adalah tidak melakukan sembahyang atau kewajiban spiritual sehari-hari. Terhadap jenis Nomor 9 ini, beberapa komentator berpendapat bahwa ia bukanlah merupakan kegiatan yang dilarang, melainkan kegiatan yang melanggar petunjuk-petunjuk kitab suci.

Samsara ada karena proses karma, terhentinya Samsara terhentinya karma. bagaimana menghentikan Karma adalah tersadarkan sepenuhnya untuk berbuat tanpa terikat hasil.
N. Dwipayana
Readmore...

Makna Kehidupan

0 komentar
 

Kesemuanya dharma (tindakan tepat), artha (keamanan sosial), kama (kenyamanan dasar) dan moksha atau kebebasan – lazimnya dianggap sebagai empat purushartha, empat pilar terpenting dari struktur kehidupan manusia.
Purusharta berasal dari bahasa Sansekerta, sebenarnya terdiri atas dua kata, purusha dan artha. Purusha biasanya diterjemahkan sebagai pria; tapi makna ini, dapat diperluas mencakup wanita juga. Jadi Purusha ialah keduanya, laki-laki dan perempuan – manusia.

Artha dapat berarti kekayaan, uang dan bahkan makna. Ini ialah sesuatu yang memberi arti bagi hidupmu.

Jadi keempat Purushartha semuanya memberi makna pada kehidupan. Sekarang, anda tak harus menjadi orang Bali untuk setuju bahwa mereka, sejatinya, merupakan empat hal terpenting dalam hidup ini.

Semuanya disebut pilar struktur kehidupan manusia.

Kita semua butuh untuk tahu apa yang tepat dan apa yang tidak tepat. Kita semua membutuhkan sesuatu seperti keamanan sosial, kenyamanan dan kebebasan. Itulah kebutuhan dasar dan lazim dari semua manusia.

Bagaimana kita memenuhi kebutuhan itu?
Bagaimana kita menggapainya?

Leluhur kita menasehati kita untuk memulainya dengan dharma. Seseorang harus tahu apa yang tepat, dan apa yang tidak tepat dilakukan. Dengan pemahaman semacam ini, seseorang harus memperoleh kemampuan yang dibutuhkan dan keahlian untuk menjalankan bidang tindakan yang dipilih.

“Dahulukan yang penting,” begitulah nasehat yang dipopulerkan Stephen Covey. Pertama, kita harus mendapatkan dharma. Tanpa kebijaksanaan untuk memilah apa yang tepat dan apa yang tak tepat, kita tak dapat berhasil dalam hidup. Dan untuk mengembangkan kebijaksananaan semacam itu, sangatlah penting bahwa kita memiliki sebuah pikiran yang tajam dan kemauan untuk belajar.

Kebijaksanaan ialah buah dari pembelajaran. Kita belajar dari buku. Kita juga belajar dari mengamati orang lain dan pengalaman hidup mereka. Yang terpenting, kita belajar dari pengalaman kita sendiri.

Dalam beberapa tahun pertama kehidupan kita, kita belajar ddengan mengamati orang lain. Itu yang kita lakukan saat kita masih anak-anak. Kita tak dapat membaca; kita tak bisa menulis; tapi kita bisa mengamati. Membaca dan menulis datang kemudian – yang pertama ialah observasi.

Anak-anak, yang kekurangan kemampuan pengamatan ini umumnya tak terlalu ingin tahu. Mereka tidak banyak bertanya. Kita mungkin menganggapnya sebagai anak yang bertipe pendiam. Kita mungkin merasa senang dengan hal tersebut, karena mereka tak menggangu kita seperti halnya tipe anak yang suka bertanya. Kendati demikian, hal ini tak bagus. Anak-anak yang kurang observasi tak hanya tumbuh secara kurang bijaksana, tapi juga kurang dinamis.

Inilah alasan kenapa kita mempunyai banyak motivator di hari-hari belakangan ini. Sebagian dari kita yang kurang mengobservasi saat masa kanan-kanak tak bisa melakukan apa-apa tanpa mereka. Kita pelu dimotivasi, dan didorong untuk mencapai tujuan kita dalam kehidupan, untuk memenuhi dan meraih segalanya.

Amati anak-anak anda dan periksa seberapa kerap ia melakukan observasi. Anak yang observan bukanlah anak yang nakal dan bandel, tapi ia yang selalu bertanya, “apa ini? apa itu?”. Ini ialah pikiran yang bertanya yang membantu anak mekar menjadi manusia yang utuh. Tanpa pikitan yang bertanya, kita tetaplah separuh manusia.

Pikiran yang kritis bertanya, kendati demikian, tak dapat diperbudak. Memang ada komunitas, masyarakat dan sistem sosial yang tak suka dengan pikiran yang kritis. Mereka melecehkan intelegensia. Mereka mengharapkan pikiran yang tumpul yang dapat diarahkan da dikuasai. Penguasa di manapun, dan di bidang apapun menentang orang cerdas, karena mereka tak bisa diperbudak.

Purushaartha, seperti yang diwariskan leluhur kita, ialah bukan untuk para budak. Selain perbudakan, mereka tak punya pilihan lain dalam hidup. Perbudakan ialah satu-satunya makna dalam hidup mereka. Mereka tak dapat meraih dharma, artha, kama dan moksa. Mereka tak bebas melakukan apapun. Mereka telah diperbudak begitu lama sehingga mereka tak lagi merasa berharga, atau bahkan memahami, arti kebebasan dan kemerdekaan itu sendiri.

Sayangnya, perbudakan bukan tradisi yang usang dan mati. Pada zaman Musa perbudakan begitu kasat mata dan dan tumbuh subur seperti pada. Sekarang kita mempunyai penguasa genre baru. Di mana pemerintah tak lagi kejam, ekonomi, sosial, religius dan institusi yang sejenis lainnya menjadi para penguasa baru. Mereka dapat mengontrol pemerintah dari balik layar sehingga tetap terlihat

Untuk menggapai keempat purushaartha ialah untuk mematahkan rantai perbudakan, dan membebaskan pikiran kita. Tapi seperti yang telah saya katakan, jika kita terlalu lama dipebudak, kita bahkan bisa jadi tak memahami arti kebebasan. Kita mungkin malah menikmati perbudakan, dan merasa nyaman. Oleh sebab itu, dari waktu ke waktu, kita membutuhkan seorang Musa atau seorang Muhammad, seorang Buddha atau seorang Krishna, seorang Washington atau seorang Gandhi untuk menunjukan pada kita jalan keluar dari pebudakan.

Para mesias, nabi, manusia tuhan, avatar atau apapun sebutan anda bagi mereka sebenarnya “orang bebas.” Mereka mengetahui arti kebebasan. Mereka ialah manusia dengan pikiran yang tajam dan intelegensia super. Mereka bisa merangkul keempat Purushartha dan menghayati kehidupan dengan gayanya sendiri. Dan mereka hendak berbagi dengan kita jenis kebebasan yang mereka nikmati. Mereka menghampiri kita untuk menunjukkan pada kita jalan keluar dari perbudakan.

Ya, itu ialah apa yang mereka tepatnya lakukan. Mereka “menunjukkan” pada kita jalan menuju kebebasan, kemandirian, kemerdekaan dan keadilan untuk semua. Kita masih harus menapaki jalan itu. Mereka tak bisa berjalan untuk kita.

Penulis: Anand Krishna
Readmore...

Siwa Siddhanta

9 komentar
 
         
           Ajaran Siwa yang berkembang dibali adalah Siwa Siddhanta. Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya adalah sebuah kesimpulan dari ajaran yang sudah mapan. Ajaran ini merupakan hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu. Didalamnya kita temukan ajaran Weda, Upanisad, Dharmasastra, Darsana (terutama Samkya Yoga), Purana dan Tantra. Ajaran dari sumber - sumber tersebut berpadu dalam ajaran Tattwa yang menjadi jiwa atau intisari Agama Hindu di Bali.

Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur - unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, Rerainan (hari raya) dan Upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian, Agama Hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.

Sejarah

Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.

Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas.

Diibaratkan seperti mengenalkan binatang gajah kepada orang buta; jika yang diraba kakinya, maka orang buta mengatakan gajah itu bentuknya seperti pohon kelapa; bila yang diraba belalainya mereka mengatakan gajah itu seperti ular besar. Metode pengenalan yang tepat adalah membuat patung gajah kecil yang bisa diraba agar si buta dapat memahami anatomi gajah keseluruhan.

Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok / intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok). Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain Wrhaspati Tattwa. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.

Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda. Pengawi dan ahli Weda I Gusti Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu :

1. DANGHYANG MARKANDEYA

Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah.

Setelah menetap di Taro, Tegal lalang – Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali.

Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.

Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu: Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.

Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll.

Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.

2. MPU SANGKULPUTIH

Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak.

Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.

Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan.

Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi.

Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll.

Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

3. MPU KUTURAN

Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali.

Pada saat itu beliau mampu menyatukan berbagaimacam aliran atau sekte yang berkembang dibali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.

Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

4. MPU MANIK ANGKERAN

Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra.

Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.

5. MPU JIWAYA

Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9).

Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.

6. DANGHYANG DWIJENDRA

Datang di Bali pada abad ke-14 dari desa keling dijawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetapi beralih menjadi Brahmana Siwa, ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.

Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal.

Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain : Mpu / Danghyang Nirarta, dan dijuluki : Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan).

Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.

Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll.

Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.

Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll.

Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali, karena dibali sesungguh Siwa Sidhanta dan Buddha kasogatan menjadi satu dalam keseharian hidup dan ritual orang bali.

Sumber - Sumber Ajaran

Walaupun sumber - sumber ajaran Agama Hindu di Bali berasal dari kitab - kitab berbahasa Sansekerta, namun sumber - sumber tua yang kita warisi kebanyakan ditulis dalam dua bahasa yaitu Bahasa sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno. Kitab yang di tulis dalam bahasa Sansekerta umumnya adalah kitab Puja, namun bahasa Sansekerta yang digunakan adalah bahasa Sansekerta kepulauan khas Indonesia yang sedikit berbeda denga bahasa Sansekerta versi India. Sedangkan kitab - kitab yang ditulis dalam bahsa jawa kuno antara lain Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana, Wrhaspati tatwa dan Sarasamuscaya. Kitab Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana dan Wrhaspati Tattwa adalah kitab - kitab yang Tattwa yang mengajarkan Siwa Tattwa yang mana juga kitab - kitab ini menjadi unsur dari isi Puja. Sedangkan Sarasamuscaya adalah kitab yang mengajarkan susila, etika dan tingkah laku.

Disamping itu juga terdapat banyak lontar - lontar indik yang menjadi rujukan pelaksanaan kehidupan umat beragama dan bermasyarakat di Bali seperti lontar Wariga, lontar tentang pertanian, pertukangan, organisasi sosial dan yang lainnya. Disamping itu juga terdapat kitab - kitab Itihasa dan gubahan - gubahan yang berasal dari purana, seperti Parwa ( kisah Maha Bharata), Kanda (Ramayana) dan juga kekawin - kekawin yang menjadi alat pendidikan dan pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat. Itihasa dan juga purana juga menjadi sumber dalam kehidupan berkesenian di Bali terutama kesenian yang masuk kategori Wali atau sakral, seperti wayang, topeng, calonarang dan yang lainnya, yang mana pementasan kesenian tersebut umumnya mengangakat tema cerita yang berasala dari Itihasa, purana atau kekawin. Tidak semua pelaksanaan kehidupan beragama di Bali yang dapat dirujuk kedalam sumber - sumber ajaran sastra agama, yang dikarenakan Agama Hindu di Bali begitu menyatu dengan Budaya, adat, seni dan segala aspek kehidupan orang Bali, sehingga banyak warisan budaya para leluhur orang Bali yang tetap diwariskan turun - temurun dan menjadi satu keatuan denga Agama Hindu di Bali.

Pokok - Pokok Ajaran

Ajaran Siwa Siddhanta di Bali terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila dan Upacara keagamaan. Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di dalan Siwa Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka menjadi Bhatara - Bhatari.
Sa eko bhagavan sarvah
Siwa karana karanam
Aneko viditah sarwah
Catur vidhasya karanam

Ekatwanekatwa swalaksana bhatara ekatwa ngaranya
Kahidup makalaksana siwatattwa
Tunggal tan rwatiga kahidep nira
Mangekalaksana siwa karana juga tan paphrabeda
Aneka ngaranya kahidup Bhataramakalaksana caturdha.
Caturdha ngaranya laksananiram stuhla suksma sunya.
Artinya :
Sifat Bhatara eka dan aneka. Eka artinya ia dibayangkan bersifat Siwa Tattwa, ia hanya esa tidak dibayangkan dua atau tiga. ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhatara bersifat Caturdha. Caturdha adalah sifatnya, sthula, suksma dan sunia.

Sumber - sumber lain yang menyatakan Dia yang Eka dalam Beraneka juga kita temukan dalam banyak mantra - mantra, diantaranya adalah :
Om namah Sivaya sarvaya
Dewa-devaya vai namah
Rudraya Bhuvanesaya
Siwa rupaya vai namah
Artinya :
Sembah bhakti dan hormat kepada Siwa, kepada Sarwa
Sembah bhakti dan hormat kepada dewa dewanya
Kepada Rudra raja alam semesta
Sembah hormat kepada dia yang rupanya manis

Twam Sivas twam Mahadewa
Isvara Paramesvara
Brahma Visnuca Rudrasca
Purusah Prakhrtis tatha
Artinya :
Engkau adalah Siwa Mahadewa
Iswara, Parameswara
Brahma, Wisnu dan Rudra
Dan juga sebagai Purusa dan Prakerti

Tvam kalas tvam yamomrtyur
varunas tvam kverakah
Indrah Suryah Sasangkasca
Graha naksatra tarakah
Artinya :
Engkau adalah Kala, Yama dan Mrtyu
Engkau adalah Varuna, Kubera
Indra, Surya dan Bulan
Planet, naksatra dan bintang - bintang

Prthivi salilam tvam hi
Tvam Agnir vayur eva ca
Akasam tvam palam sunyam
Sakhalam niskalam tatha
Artinya :
Engkau adalah Bumu, Air
dan juga Api
Angkasa dan alam sunia tertinggi
Juga yang berwujud dan tak berwujud


Dengan contoh - contoh ini menunjukkan bahwa semua Bhatara - Bhatari itu adalah Bhatara Siwa sendiri. Bhatara - Bhatari itulah yang dipuja sebagai Ista Dewata. Banyaknya Ista Dewata yang dipuja akan berkaitan dengan banyaknya Pura dan Pelinggih, Pengastawa, Rerainan dan Banten. Ista Dewata adalah Bhatara Siwa yang aktif sebagai Sada Siwa, sedangkan Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa bersifat tidak aktif atau sering disebut Sunia.

Dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara yang paling mendominasi pemujaan yang ada di Bali. Konsep penciptaan, pemeliharaan dan pemrelina menunjukkan Bhatara Siwa sebagai apa yang sering disebut Sang Hyang Sangkan paraning Numadi, yaitu asal dan kembalinya semua yang ada dan tidak ada di jagat raya ini.

salah satu yang menarik dari keberadaan Bhatara Siwa, ialah Beliau berada dimana - mana, di seluruh penjuru mata angin dan di pengider - ider. Di timur Ia adalah Iswara, di tenggara Ia adalah Mahesora, di selatan Ia adalah Brahma, di barat daya Ia adalah Rudra, di barat Ia adalah Mahadewa, di barat laut Ia adalah Sangkara, di utara Ia adalah Wisnu, di timur laut Ia adalah Sambhu dan ditengah Ia adalah Siwa. Sebagai Sang Hyang kala, di timur Ia adalah kala Petak (putih), di selatan Ia adalah Kala Bang (merah), di barat ia adalah Kala Gading (Kuning), di utara Ia adalah Kala Ireng (hitam) dan ditengah Ia adalah kala mancawarna.

Selain ajaran ke-Tuhanan, ajaran Siwa Siddhanta juga memuat beberapa ajaran diantaranya ajaran tentang Atma yang sesungguhnya berasal dari Bhatara Siwa dan akan kembali kepada-Nya juga, ajaran Karma Phala yang berkaitan dengan Punarbawa atau siklus reinkarnasi, ajaran pelepasan yang berkaitan tentang Yoda dan Samadhi. Terdapat pula ajaran tata susila yang erat hubungannya dengan ajaran Karma Phala. Tumpuan dari ajaran tata susila itu adalah Tria Kaya Parisuddha yaitu Kayika Parisuddha (berbuat yang benar), Wacika Parisuddha (berbicara yang benar) dan Manacika Parisuddha (berfikir yang benar).

Siwa Siddhanta Dalam Pelaksanaan Kehidupan Beragama di Bali

Ada relasi antara manusia dengan Tuhan. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk bakti sebagai wujud Prawrtti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua perbuatan manusia di dunia. Tuhan yang memberikan berkah dan hukuman kepada semua mahluk. Di Bali, bhakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai bentuk. Untuk orang kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembahyang yang diiringi dengan upakara. Upakara artinya pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan banten. Upakara termasuk Yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang maupun persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng dan Sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan saa, mantra dan puja. Padewasan dan rerainan memengang peranan penting, yang mana pada semua ini ajaran sradha kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud.

Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagai Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam banten caru, belia disimbulkan pada banten Bagia Pula Kerti, beliau dipuja pada puja Asta Mahabhaya, Nawa Ratna dan pada kidung belia dipuja pada kidung Aji Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai Puja, Mantra dan saa, ditulis dalam aksara pada rerajahan dan juga disimbulkan pada alat upacara serta aspek kehidupan beragama lainnya.

Tempat - tempat pemujaan menunjukkan tempat memuja Bhatara Siwa dalam manifestasi beliau. Belia dipuja sebagai Siwa Raditya di Padmasana, dipuja sebagai Tri Murti di sanggah, paibon, Kahyanga Desa dan kahyangan jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai Ista Dewata sesuai dengan ajaran Tuhan berada dimana - mana. Demikinalah orang Bali menyembah Tuhan disemua tempat, di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Bale Agung, Pempatan Agung, Peteula, Setra, Segara, Gunung, Sawah, Dapur dan sebagainya. Disamping itu diberbagai tempat Tuhan dipuja sebagai Dewa yang "Ngiyangin" atau yang memberkati daerah pada berbagai aspek kehidupan, seperti Dewa Pasar, Peternakan, Kekayaan, Kesehatan, Kesenian, Ilmu Pengetahuan dan sebagainya.

Dengan demikian hampir tidak ada aspek kehidupan orang Bali yang lepas dari Agama Hindu. Dalam pemujaan ini Tuhan dipuja sebagai Ista Dewata, Dewa yang dimohon kehadirannya pada pemujaannya, sehingga yang dipuja bukanlah Tuhan yang absolut sebagai Brahman dalam Upanisad atau Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa, namun Tuhan yang bersifat pribadi yang menjadi junjungan yang disembah oleh penyembahnya. Ista Dewata ini dipandang sebagai tamu yang dimohon kehadirannya oleh hambanya pada waktu dipuja untuk menyaksikan sembah bakti umatnya. Oleh karena itu Tuhan dipuja sebagai "Hyang" dari aspek - aspek kehidupan yang rasa kehadiran-Nya sangat dihayati oleh hambanya sama seperti penghayatan umat terhadapa aspek kehidupan tersebut. Pemujaan dilakuakn dalam suasana, tempat cara dan bahan yang paling tepat dan paling dihayati oleh para pemuja-Nya. Terdapat persembahan Banten, pakaian, hiasan yang semuanya dipersembahkan dengan begitu serasi dengan penghayatan, perasaan dan cita rasa dari penyembah-Nya sehingga penghayatan menyusup kedalam lubuk hati yang terdalam. Apapun yang dipersembahkan, maka itu adalah sesuatu yang terbaik menurut para penyembah-Nya. Akibat dari semua itu adalah adanya variasai dan pelaksanaan hidup beragama di Bali.

Namun inti dari prinsip ajaran agama Hindu adalah sama, yaitu Tuhan yang ada dimana - mana sama dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menampakkan diri dalam berbagai wujud dan pandangan penyembah-Nya, yang abstrak dihayati melalui bentuk.

sumber : Kalender Pasraman Yogadhiparamaguhya 2009, susunan IBG Budayoga, S Ag, Msi
Readmore...

BAGAIMANA MENCARI KEBENARAN

0 komentar
 
BAGAIMANA MENCARI KEBENARAN???


Sebuah rangkuman dari Kalama Sutta (Dasar Penyelidikan Bebas), sebuah panduan untuk mencari Kebenaran secara bijaksana, sebagaimana diajarkan oleh Buddha:

Semasa hidup-Nya, Buddha pernah datang ke desa yang dihuni oleh orang-orang Kalama. Suku Kalama termasuk kelompok orang yang paling cerdas dan cendekiawan di India. Mereka pergi untuk bertanya kepada Buddha, “Bagaimana kami tahu bahwa apa yang Anda ajarkan itu benar? Semua guru spiritual lain (ada lebih dari 60 kepercayaan agama pada masa itu) datang menyatakan bahwa hanya apa yang mereka ajarkan sajalah yang benar, bahwa semua ajaran lain tidaklah benar.”

Menanggapi hal tersebut, Buddha tersenyum lembut dan menjawab:

1. Janganlah percaya begitu saja pada apa yang kalian dengar hanya karena kalian telah mendengar hal itu sejak lama.
2. Janganlah mengikuti tradisi secara membuta hanya karena hal itu telah dipraktikkan sedemikian secara turun-temurun.
3. Janganlah cepat terpancing desas-desus.
4. Janganlah meyakini segala sesuatu hanya karena hal itu sesuai dengan kitab suci kalian.
5. Janganlah membuat asumsi-asumsi secara bodoh.
6. Janganlah tergesa-gesa menarik kesimpulan berdasarkan apa yang kalian lihat dan dengar.
7. Janganlah terkecoh oleh penampakan-penampakan luar.
8. Janganlah berpegang kuat pada pandangan atau gagasan apa pun hanya karena kalian menyukainya.
9. Janganlah menerima segala sesuatu yang kalian pandang masuk akal sebagai fakta.
10. Janganlah meyakini segala sesuatu hanya karena rasa hormat dan segan kepada guru-guru spiritual kalian.


Seyogianya kalian bisa mengatasi pendapat dan kepercayaan. Kalian bisa menolak segala sesuatu yang mana jika diterima dan dijalankan menyebabkan meningkatnya kemarahan (kebencian), keserakahan (nafsu keinginan), dan kegelapan batin (pandangan salah). Pengetahuan bahwa kalian marah, serakah, atau gelap batin tidak bergantung pada kepercayaan atau pendapat. Ingatlah bahwa kemarahan, keserakahan, dan kegelapan batin merupakan hal-hal yang tercela di seluruh dunia. Mereka tidak bermanfaat dan semestinya dihindari.

Sebaliknya, kalian bisa menerima segala sesuatu yang mana jika diterima dan dijalankan membawa pada Cinta Kasih tanpa syarat, kebercukupan, dan Kebijaksanaan. Hal-hal ini memungkinkan kalian pada setiap waktu dan tempat untuk mengembangkan pikiran yang bahagia dan penuh damai. Oleh karena itu, mereka yang bijaksana menjunjung Cinta Kasih tanpa syarat, kebercukupan, dan Kebijaksanaan.

Hal ini seyogianya menjadi kriteria kalian mengenai apa yang merupakan Kebenaran dan apa yang bukan; mengenai apa yang merupakan praktik spiritual dan apa yang bukan.”

Mendengar itu, orang-orang Kalama terpuaskan dan dengan hati dan pikiran yang terbuka, menganut semangat penyelidikan bebas, mendengarkan, bertanya, dan menerima ajaran Buddha dengan sepenuh hati.

dikutip dari www.ehipassiko.net
Readmore...

Memberi dan Berbalas Budi

0 komentar
 
MEMBERI DAN MEMBALAS BUDHI

Om awignamastu nama siddham
Om Siwa Buddhaya
Om namo panca tathagata ya
Om Namo arya avalokitesvara mahasattva maha karunaya
Om Ang Gni jaya ca Ang Gni wijaya jagat ca Um Manik Jatis ca Sumerus ca Ghanas ca De Kuturan Bharadah Ya namo svaha.
Sembah hatur ingulun ri pada nira bathara Hyang lamakane natan kakening sosot upadrawa kuasan sira paduka bathara.

Puja dan hormat kami terhadap SiwaBuddha Tuhan kami, kelima Buddha penguasa dan kepada yang mulia maha avalokitesvara mahluk yang maha pengasih.
Sembah kami kepada guru kerohanian kami dari garis siwabuddha dharma, Yang Maha Suci Gni Jaya di lempuyang agung, Yang Mulia Sapta Rsi Gni wijaya di lempuyang madya, Yang Maha Suci semeru di gunung mahameru, Yang Maha Suci Ghana di gelgel, Yang Maha suci kuturan di silayukti dan Yang Mulia Maha Suci Bharadah dijawa.
Semoga tidak terkena hukuman leluhur dan kutukan atas ijin dari Yang Maha Suci Guru kerohanian hamba.

Didalam keseharian terkadang kita selalu berharap untuk mendapatkan sesuatu, rejeki keberuntungan atau bonus dari pekerjaan kita. tapi pernahkah kita berpikir untuk memberi bahkan lebih dari hal yang kita miliki? keterikatan manusia akan materiil dijaman materialisme ini akan sangat sulit mencari lingkungan saling memberi atau berbalas memberi.

Dalam masyarakat SiwaBuddha di bali tradisi ngejot atau mengirim makanan ketika ada upacara merupakan kebiasaan, dan hal ini ada jauh sebelum hindu buddha masuk. hal ini masih kita jumpai dibeberapa tradisi suku lain diindonesia. tetapi hal itu sekarang mulai tergerus karena jaman yang mulai modern bahkan di bali sekalipun.

Dahulu ketika kita akan mempunyai acara atau hajatan semua dilakukan dengan gotong royong tanpa pamrih, hal ini masih berlaku dalam masyarakat bali. walaupun terkadang dituduh tidak efektif bagi kaum modern kebarat-baratan. budaya adat gotong royong dan ngayah dianggap memberatkan dengan tradisi kapitalis dimana waktu adalah uang. semua ayahan bisa ditukar dengan uang, kebersamaan mulai ditinggalkan seakan materiil diatas segalanya.


Berterima kasih karena berhutang


Seorang Buddha berterima kasih kepada pohon Bodhi yang telah melindunginya saat beliau bermeditasi mencapai Penerangan Sempurna. Kehidupan di dunia ini pada hakikatnya mempunyai ketergantungan dengan yang lain. Itulah sebabnya dari dulu para leluhur melakukan persembahan, melakukan yadnya dan saling menolong satu sama lain tanpa pamrih atau pengharapan balas jasa. Mereka selalu mengingat hutang mereka dan berusaha untuk selalu membalas budhi bukan sebaliknya mereka tidak pernah mengingat pemberian dan persembahan yang telah mereka lakukan.

Dalam tradisi Siwabuddha, manusia meyakini memiliki Tiga macam hutang atau Tri Rna:

1. Deva Rna, hutang terhadap Dewa. Yang dimaksud adalah hutang terhadap kemuliaan, kesadaran, pencerahan karena kata dewa berasal dari Divya, yang berarti yang mulia, yang terang, yang berasal dari cahaya.
2. Pitra Rna, hutang terhadap leluhur, atau barangkali lebih tepat hutang terhadap keluarga. Karena keluarga adalah kontinuitas dari leluhur dan leluhur adalah keluarga.
3. Rshi Rna, hutang terhadap para bijak, atau terhadap kebijaksanaan itu sendiri.

Dan ketiga hutang ini mereka berbalas dengan melakukan Yadnya yang disebut sebagai Panca Yadnya:
1. Dewa Yadnya, melaksanakan persembahan kepada Tuhan ( Sang Hyang Tunggal), para Dewa dan mahluk suci.
2. Pitra Yadnya, melakukan penghormatan pada leluhur dan menjaga nama baik keluarga, melakukan upacara pada leluhur dan menghormati orang tua.
3. Rsi Yadnya, memberikan penghidupan pada orang suci dan menghormati para Guru dharman dan dharma itu sendiri.
4. Manusia Yadnya, membantu sesama manusia, saling mengasihi dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
5. Bhuta Yadnya, menjaga keharmonisan lingkungan. Jauh sebelum ilmuwan modern mulai memperhatikan lingkungan, flora dan fauna, jauh sebelum mereka mencetak istilah baru eco system, para bijak sudah memaparkan, menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungannya.


Membalas pemberian dengan apa yang dipunyai

Aththar an Nisaburi, salah seorang sufi bercerita sebagai berikut. Ketika Gusti Yesus pada suatu hari berjalan melintasi kota, beberapa orang Israel mencaci-makiNya. Merespon hal tersebut, Gusti Yesus menjawab dengan mengulang doa atas nama mereka. Seseorang berkomentar : ”Engkau berdoa untuk orang-orang ini, tidakkah Engkau merasa marah kepada mereka?” Gusti Yesus menanggapi : “Aku hanya dapat membelanjakan apa yang ada dalam dompetku.” Seseorang yang hatinya penuh kasih, yang diungkapkan pun hanya kasih, karena di dalam dirinya yang ada hanya kasih.

Apapun yang diterima diri manusia, baik makanan, maupun semua kejadian, alangkah baiknya kalau didaur-ulang dengan kasih. Apapun yang dipikirkan, diucapkan dan diperbuatnya, alangkah mulianya bila dijiwai oleh kasih. Semua ingatan perlu didaur ulang, sehingga yang tertinggal dalam ingatan hanyalah tentang kasih. Kasih yang tulus tanpa pamrih, terlepas dari penilaian baik dan buruk, dari dualitas. Apa pun yang diterima dibalas dengan kasih. Ungkapan terima kasih para leluhur kita mempunyai kesamaan dengan peristiwa di atas.



Guru Atisha berguru kepada Guru Dharmakirti Svarnadvipi


Ungkapan Terima Kasih produk asli Nusantara

Lebih dari 800 tahun telah berlalu ketika Guru Atisha bepergian ke Sumatra yang pada waktu itu dikenal dengan nama Svarna Dvipa, belajar kepada Guru Dharmakirti Svarnadvipi. Guru Atisha menghabiskan waktu lebih dari 10 tahun untuk belajar dan mendokumentasikan tiap kata yang didengar dan tiap ilmu yang diajarkan oleh Guru Dharmakirti Svarnadvipi.

Salah satu ilmu yang dipelajari dari Nusantara dan disebarkan di India dan Tibet oleh Guru Atisha adalah Meditasi Tong-Len, Menerima dan Memberi, Terima Kasih. Guru Atisha membicarakan prinsip give and take. Hanya saja give and take Guru Atisha berbeda dengan kebanyakan orang. Seseorang pada umumnya selalu ingin menerima yang terbaik, dan memberi yang kurang baik. Guru Atisha kebalikannya, memberikan yang terbaik, menerima yang terjelek. Yang terjelek pun harus di olah, di daur-ulang dan dijadikan baik kembali. Ilmu yang telah lama dilupakan di Nusantara, karena warga Nusantara akhir-akhir ini hanya mempunyai “short memory”, amnesia.

Teknik ini sekarang digunakan para neurologist Barat sebagai bagian dari Transcranial Magnetic Stimulation Therapy, untuk menyembuhkan beberapa penderita stroke.(anand krishna)

Beberapa butir Ajaran Guru Atisha

Beberapa butir ajaran Guru Atisha dari buku Seni Memberdaya Diri 3 Atisha karya Bapak Anand Krishna yang berhubungan dengan terima kasih:

Jangan mulai dari orang lain. Mulailah dari diri sendiri dulu. Sadarilah akan kekotoran diri. Terlebih dahulu, urusi diri dahulu. Tong berarti memberi. Berikan kasih, sebarkan kasih. Len berarti menerima. Terimalah kebencian, ambillah kebencian

Guru Atisha tidak menyangkal adanya kejahatan. Guru Atisha juga tidak mengatakan bahwa kejahatan dapat dihindari. Guru Atisha seorang ahli kimia rohani. Berikan kebencian, dan akan diolahnya menjadi kasih. Berikan kemunafikan dan ia akan mengolahnya menjadi kejujuran, ketulusan. Apabila kejahatan menimpa dunia ini, manusia perlu mengubah keadaan yang tidak menguntungkan menjadi sarana demi terjadinya peningkatan kesadaran.

Kembangkan rasa syukur. Ada yang menghujat, yang mencaci maki – balas dengan ucapan Terima Kasih. Selesai sudah masalahnya. Lagi pula, setiap kali mengucapkan terima kasih, sesungguhnya seseorang melepaskan mind-nya. Mind tidak pernah berterima kasih. Mind selalu melakukan perhitungan. Mind selalu menghitung laba rugi. Bersyukur adalah rasa bukan mind.

Apabila masih menghitung laba-rugi, apabila masih mempertanyakan tujuan, sesungguhnya seseorang belum ingin mempertahankan Kasunyatan. Burung-burung berkicau tanpa tujuan. Kembang-kembang mekar tanpa tujuan. Sungai-sungai yang mengalirpun tidak bertujuan. Mind-lah yang selalu mengejar tujuan.



Pertemuan dengan Guru Dharmakirti dalam diri



Berikut ini cuplikan dari Buku Seni Memberdaya Diri 3 Atisha, karya Bapak Anand Krishna……

Guru Dharmakirti dalam diri manusia Indonesia sudah tidak tahan menyaksikan ketidakwarasan kita. Ia sudah muncul kembali, Ia tidak akan kemana-mana lagi. He has come to stay. Ajarannya tentang Kesadaran Murni akan melanda Persada Nusantara.

Apa pun agama yang dianut, perlu diwarnai keyakinan, kepercayaan dengan penuh kesadaran. Guru Dharmakirti tidak mewakili salah satu agama. Ia mewakili kemanusiaan. Ia mewakili keberadaan. Ia mewakili keindahan. Jika seseorang masih tetap alergi terhadap dia, apa boleh buat? Boleh-boleh saja seseorang menolak dia, sebagaimana seorang buta menolak keberadaan matahari. Penolakan tersebut sangat tidak berarti. Cahaya matahari Guru Dharmakirti sudah mulai menerangi sebagian bangsa kita. Dan ia akan melanjutkan tugasnya – tugas menerangi bangsa ini secara keseluruhan.

Pertemuan dengan seorang Guru Atisha, dengan seorang Guru Dharmakirti, bukanlah suatu kebetulan. Mereka tidak bisa ditemui secara kebetulan. Karma seseorang mempertemukan dengan mereka. Perbuatan dan tindakan seseorang selama sekian banyak masa kehidupan berbuah dan menghadirkan seorang Guru Atisha, seorang Guru Dharmakirti dalam hidup seseorang.

Lalu apa yang harus dilakukan? Menyia-nyiakan kesempatan itu, tidak sungguh-sungguh menerimanya, atau mengundangnya untuk bermukim di dalam jiwa? Yang telah dibuka bukanlah pintu hati, tetapi hanya jendela pikiran. Sebagaimana telah disia-siakan sebelum ini, masa kehidupan sebelum ini pun berlalu begitu saja, tanpa terjadinya peningkatan kesadaran sama sekali. Menerima Guru Dharmakirti, menerima Guru Atisha, berarti menerima kritik dan ujian, hujatan, cacian dan makian. Kalau belum bisa menerimanya, tunggu dulu! Seorang Guru Dharmakirti, seorang Guru Atisha akan mengeruhkan suasana sedemikian rupa, sehingga seseorang akan menerima semua itu.

itulah yang menjadi jawaban atas karakter orang bali penganut SiwaBuddha, ajaran Maha Guru Dharmakirti terealisasi dalam kehidupan keseharian orang bali. Bukan karena pengecut atau takut, dua kali bali di BOM dan dilukai hatinya tapi orang bali sedikin pun tidak terprovokasi ataupun terpancing untuk membalas atau menyalahkan salah satu agama ( dimana pelaku dengan tanpa bersalah mengaku menjalankan ajaran agamanya). seperti pepatah tetua mereka: "jika engkau dilempar dengan kotoran balaslah dengan bunga". Selalu balas segala sesuatu dengan kebajikan. karena setiap mereka keluar dari pura atau tempat suci kata Shantilah yang diucapkan tiga kali, sehingga dihati orang bali selalu tertanan kata shanti yang berarti damai. kedamian dihatilah inti dari bodhicitta.


Sarvam Sattvam Sukkham Bavanthu
Om Shanti Shanti Shanti Om
Readmore...

Buddha di bali

6 komentar
 
Salam Shanti untuk seluruh mahluk boddhi
Om awignamastu nama siddham
Om Siwa Buddhaya
Om namo panca tathagata ya
Om Namo arya avalokitesvara mahasattva maha karunaya
Om Ang Gni jaya ca Ang Gni wijaya jagat ca Um Manik Jatis ca Sumerus ca Ghanas ca De Kuturan Bharadah Ya namo svaha.
Sembah hatur ingulun ri pada nira bathara Hyang lamakane natan kakening sosot upadrawa kuasan sira paduka bathara.

Puja dan hormat kami terhadap SiwaBuddha Tuhan kami, kelima Buddha penguasa dan kepada yang mulia maha avalokitesvara mahluk yang maha pengasih.
Sembah kami kepada guru kerohanian kami dari garis siwabuddha dharma, Yang Maha Suci Gni Jaya di lempuyang agung, Yang Mulia Sapta Rsi Gni wijaya di lempuyang madya, Yang Maha Suci semeru di gunung mahameru, Yang Maha Suci Ghana di gelgel, Yang Maha suci kuturan di silayukti dan Yang Mulia Maha Suci Bharadah dijawa.
Semoga tidak terkena hukuman leluhur dan kutukan atas ijin dari Yang Maha Suci Guru kerohanian hamba.


Sinkretisme Siva-Buddha di Indonesia adalah suatu gejala keagamaan yang sangat komplek. Istilah-istilah: siva-buddha tunggal dan bhinneka tunggal ika, secara khusus, memang bisa memberi indikasi yang kuat tentang sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme di Indonesia. Tetapi dalam arti yang lebih luas sumber-sumber sastra Jawa Kuna yang memuat istilah-istilah tersebut secara keseluruhan tidak berbicara tentang kemanunggalan di antara kedua sistem keagamaan tersebut. Para sarjana, peneliti dan pemerhati, telah mengkaji masalah ini dari berbagai sudut pandang. Tetapi masalah Siva-Buddha tidak sesederhana seperti yang diperkirakan sebelumnya. Kebanyakan para sarjana menganggap bahwa masalah Siva-Buddha sudah selesai dengan mengutip sumber-sumber yang terbatas dalam kesusastraan Jawa Kuna. Masalah Siva-Buddha bukan terjadi karena diambil begitu saja melalui sumber-sumber arkeologi maupun sumber-sumber sastra. Keberadaannya dalam panggung sejarah karena kontribusi yang diberikan oleh para sarjana, baik para orientalis barat, sarjana India maupun sarjana Indonesia. Itulah sebabnya masalah Siva-Buddha ini menjadi semakin komplek karena diwarnai oleh silang pendapat para sarjana.

Kompleksitas permasalahan tersebut sudah tampak sejak di India, yaitu dengan adanya kenyataan “saling menukar” dewa-dewa di antara agama Hindu, Buddha dan Jaina. Dewa-dewa Hindu seperti Parvati dan Indra ditemukan di antara dewa-dewa Jaina, demikian juga dewa ganapati , Saraswati, Mahakala, Nilakantha, dan sebagainya, terkenal di antara dewa-dewa Buddha. Sementara Hindu meminjam dewa-dewa Buddha seperti Mahacina Tara, Janguli dan Vajrayogini di bawah nama Tara, Manasa dan Chinna-masta. Kenyataan ini menyulitkan para peneliti untuk memberi batasan yang tegas mengenai sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhisme. Di Indonesia, kesusastraan Jawa Kuno, tidak hanya berbicara tentang penyamaan-penyamaan yang terbatas antara Siva dan Buddha, melainkan juga diantara kelompok-kelompok dewa dalam agama Hindu dan Buddha, di samping penyamaan dewa-dewa dalam intern agama Hindu dan intern agama Buddha secara terpisah. Buddha kadang-kadang disamakan dengan Visnu. Di tempat lain Buddha disamakan dengan Brahma, atau Visnu disejajarkan kedudukannya dengan Siva (Harihara).

Tulisan-tulisan tentang Siva-Buddha, baik berupa artikel maupun hasil-hasil penelitian, sudah cukup banyak dipublikasikan. Namun, suatu gejala yang aneh bahwa di Bali sendiri, umat Hindu yang memuja tuhan “Siva-Buddha” sebagai Sanghyang Tunggal, kebanyakan belum memahami realitas ini. Padahal teks-teks yang menguraikan tentang sinkretisme Siva-Buddha di Bali terus bermunculan sampai pada zaman modern ini. Lebih dari itu, hasil penelitian menunjukkan, gejala sinkretisme Siva-Buddha di Bali merupakan yang terbesar dibanding masa-masa sebelumnya, baik di Jawa Timur (pada zaman Majapahit), maupun di India (pada Dinasti Pala). Kenyataan ini menuntut adanya penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif mengenai eksistensi Siva-Buddha dalam realitas kehidupan umat Hindu di Bali. Penelitian ini akan memfokuskan kajian pada dinamika atau evolusi Siva-Buddha dalam ajaran Tantra yang menjadi medium penyatuan Siva-Buddha di Bali. Dengan fokus kajian tersebut, diharapkan mampu memberi gambaran tentang eksistensi Siva-Buddha dalam realitas masyarakat umat Hindu di Bali.

Dalam keseharian secara ritual umat hindu lebih banyak memakai ritual siwa dan memaknai kehidupan dengan ajaran Buddha. Umat bali pada umumnya sangat percaya akan hukum karmaphala dan renkarnasi dimana hal ini menjadi titik temu kedua paham tersebut. Dalam bentuk ritual umat hindu tidak membedakan antara Siwa dan Buddha, dalam upacara besar kedua pendeta tersebut mendapat kedudukan yang tinggi dimana Brahmana Siwa dan Buddha diberikan wewenang untuk menyelesaikan upacara.

Brahmana Siwa saat ini terdiri dari keturunan Dang Hyang Nirarta yang disebut Ida Pedanda Siwa. dewasa ini dengan tergerusnya sistem kasta muncul brahmana dari latar belakang umat awam (bukan keturunan brahmana) dimana secara mental dan fisik siap dan secara ilmu agama berhak mendapat diksa yang disebut Ida Sri Mpu. Dalam prosesinya lebih cendrung seperti aliran tantra yaitu mengunakan mudra, visualisasi dan pemujaan kepada arah mata angin sesuai dengan dewanya masing-masing. dalam sarananya Brahmana siwa memakai satu genta dikiri disebut Bajra Genta.

Brahmana Buddha yang ada dibali secara mantra dan kitab berbeda dengan pendeta siwa, kitab yang digunakan adalah Sang Hyang Kamahayanikan dan puja astawa memuja dharani Buddha sebagai penguasa masing-masing arah. Sampai saat ini yang memegang teguh garis perguruan Brahmana Buddha hanya mereka keturunan Yang Maha Suci Dang Hyang Astapaka di Budakeling karangasem. Para Brahmana dalam ritualnya tidak memusung rambut seperti pendeta Siwa tetapi bebas. Pendeta Siwa memiliki banyak batasan dalam hal makanan, tapi tidak demikian dengan pendeta Buddha mereka bebas dalam hal itu. tetapi dalam hal ritual diksa pendeta Buddha tidak sembarangan dalam melakukan diksa. tidak semua siswa nabe akhirnya didiksa, hanya mereka yang benar-benar siddhi dan mampu menggunakan Bajra nengen sejenis senjata Vajra ditangan kanan untuk pelindung ketika upacara yang akhirnya memperoleh diksa. dalam hal upacara ritual Brahmana buddha memakai dua Bajra yaitu: Bajra Genta dan Bajra Nengen ( Bajra Genta dikiri untuk menghubungkan dengan para Dewa dan Buddha, Bajra Nengen dikanan untuk melindungi sang pendeta dari serangan Butha dan asura). Dalam Upacara besar di bali tidak akan lengkap tanpa kehadiran Brahmana Buddha. dan di Pura terbesar dibesakih wajib bagi tiga pendeta untuk menyelesaikan upacara pendeta SIwa, Buddha dan Waisnawa tanpa ketiga pendeta tersebut ketiga alam bhur, bwah dan Swah tidak akan disucikan secara keseluruhan.

Ketaatan dan bhakti dalam ajaran Siwa Siddhanta dan filosofi pelepasan samsara yang agung dari Buddha Tantrayana telah mebuat Bali dijuluki Sorga Dunia, Pulai dewata, Pulau seribu pura... banyak wisatawan asing dan manca negara akhirnya menemukan kedamian di bali. karena dibali agama bukan diperdebatkan tetapi dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. konsep buddha untuk mengasihi setiap mahluk hidup bagi orang bali sangat ditaati, itulah bukan hanya dipura saja diberikan persembahan, tetapi kepada butha diperempatan, asura-asura dan mahluk halus lainnya ditempat-tempat keramat dibuatkan tempat agar mereka tenang dan tidak mengganggu manusia. bagi orang bali berbagi dan memberi adalah anugrah... karena hal itulah yang menimbulkan akhir dari pencarian spiritual orang bali yaitu Om Shanti Shanti Shanti Om yang berarti damai dihati damai semua mahluk disekitar kita dan damai seluruh mahluk dialam semesta ini...

Sarvam Sattvam Sukkham Bavanthu
Om Shanti Shanti Shanti Om
Readmore...
/*